Oleh: Edy Basri
Sinyal telepon di Desa Lombo itu seperti malu-malu. Kadang muncul setengah, lalu hilang begitu saja.
Kalau ingin menelpon, orang harus naik ke bukit atau menunggu angin membawa sedikit keberuntungan. Di tempat seperti itulah, seorang ibu rumah tangga bernama Jumaisa (45) ditemukan tewas bersimbah darah di kebun nilamnya.
Hari itu, Selasa siang, sekitar pukul 11.30 Wita. Panas sedang terik-teriknya. Anaknya, Arlan, sudah resah. Ibunya belum juga pulang dari kebun. Ia mencari. Di sana, di antara rumpun nilam, ibunya sudah terbaring diam.
Tidak ada suara. Tidak ada sinyal. Tidak ada siapa-siapa. Hanya sepi, tanah, dan darah.
Parang tergeletak di samping tubuh korban. Tapi bukan itu senjata pelaku. Parang itu alat kerja sang ibu sendiri — alat untuk menyambung hidup, bukan untuk menghabisi hidup. Parang yang dipakai membunuh justru baru ditemukan kemudian, di rumah pelaku.
Pelaku itu bernama Rustan. Ia tidak punya masalah besar dengan korban. Tidak ada utang. Tidak ada dendam. Ia hanya tersinggung.
Korban menegur, karena Rustan menginjak penyangga tanaman lombok miliknya. Teguran itu biasa saja. Tapi hati manusia tidak selalu sekuat logika. Satu kalimat bisa menyalakan bara.
Dan di kebun sunyi itu, amarah menggantikan nalar.
Di markas Polres Sidrap, kabar itu datang terputus-putus. Sinyal susah. Laporan baru lengkap menjelang sore.
Tapi Kapolres AKBP Dr. Fantry Taherong tidak menunggu terang. Ia tahu, waktu tidak boleh memberi kesempatan kepada pelaku untuk bersembunyi.
“Berangkat sekarang,” katanya pendek.
Ia tidak duduk di belakang meja. Ia tidak menunggu hasil koordinasi. Ia ikut naik ke mobil dinas.
Malam itu juga, ia pimpin sendiri operasi gabungan. Tim Satreskrim, Intelkam, dan Polsek setempat ikut. Mereka menyisir gelap.
Jaringan komunikasi nihil. Hanya radio HT yang kadang berderit, kadang mati. Tapi langkah kaki mereka tidak berhenti. Lampu senter menembus kabut tipis di perbukitan Lombo.
Kapolres Fantry tidak sekadar memerintah. Ia berada di depan. Menembus semak, menjejak tanah becek.
“Kita cari sampai ketemu,” katanya. Tidak keras, tapi tegas.
Waktu menunjukkan dini hari. Embun mulai turun. Di perbukitan itu, suara jangkrik kalah oleh langkah sepatu polisi.
Dan ketika fajar mulai mengintip, pelaku ditemukan. Rustan menyerah tanpa banyak kata. Ia ditangkap dalam keadaan lemah, seperti kehilangan tenaga yang tersisa.
Bersambung……..
Tidak ada komentar