Oleh: Edy Basri
Oke. Tulisan ini saya mulai dari sawah. Tepatnya di utara Sidrap; Baranti.
Matahari baru naik setengah saat saya keluar dari rumah menuju kampung H. Zulkifli Zain (H. Pilli), salah seorang tokoh masyarakat Sidrap.
Menuju ke Dusun Simpo, Desa Passeno, suara traktor mengaum pelan, menggantikan bunyi derit bajak sapi yang dulu begitu akrab di telinga.
Di tengah hamparan hijau itu, seorang petani berkaus lengan panjang melambai dari kejauhan. Namanya La Patta, 49 tahun.
“Dulu saya butuh dua hari untuk membajak satu hektare, sekarang dua jam selesai,” katanya, sambil menepuk bodi traktor mini yang catnya masih mengilap.
“Ini bantuan dari pemerintah kabupaten, Pak. Katanya, biar petani Sidrap bisa bersaing.”
Tujuh bulan sudah SAR–Kanaah memimpin Sidrap — duet Syaharuddin Alrif dan Nurkanaah — dan di sawah ini saya melihat sebuah perubahan kecil yang terasa besar.
Di tempat yang dulu hanya diwarnai keluhan soal pupuk dan harga gabah, kini obrolan bergeser ke produktivitas, teknologi, dan hasil panen per hektare.
Sidrap memang bukan sembarang kabupaten. Ia dikenal sebagai lumbung padi Sulawesi Selatan, bahkan kerap disebut “Bulog”-nya daerah.
Tapi selama bertahun-tahun, banyak petani seperti La Patta yang hanya menjadi penonton di sistem rantai pasok panjang yang tak ramah. Harga gabah naik-turun, biaya pupuk tak pasti, dan anak-anak mereka mulai enggan turun ke sawah.
Namun, sejak awal 2025, perlahan suasana berubah. Pemerintahan SAR–Kanaah seperti ingin memulai ulang Sidrap, dari hal-hal yang paling sederhana.
Dinas pertanian dan peternakan tak lagi bekerja di balik meja, tapi turun langsung ke lapangan, membimbing petani menggunakan pupuk organik cair dan aplikasi digital pendataan hasil panen.
Di beberapa desa, drone pertanian mulai digunakan untuk penyemprotan. Para petani muda diajak belajar cara membaca data cuaca, pola air, hingga prediksi serangan hama lewat pelatihan singkat yang digelar di balai desa.
“Dulu saya cuma tahu kapan tanam dari kebiasaan, sekarang dari aplikasi,” ujar Rudi, 28 tahun, petani muda di Kulo. “Dan anehnya, hasil panen saya malah lebih banyak.”
Dari sawah, saya bergerak ke arah selatan, menuju kawasan peternakan di Watang Pulu. Jalan menuju sana kini mulus, sebagian sudah dicor beton.
Di sepanjang jalan, bau rumput segar bercampur aroma dedak. Saya berhenti di kandang besar milik koperasi peternak muda yang menamakan dirinya SIDRAP FARMERS HUB.
“Dulu, kami urus sapi seadanya. Sekarang ada sistem pencatatan digital, ada mesin pencacah pakan, dan kandang kami sudah ventilasi modern,” kata Sappe, ketua koperasi itu.
Ia menunjukkan ruang pakan dengan sistem timbang otomatis yang baru dibangun tiga bulan lalu.
Di dindingnya, terpampang poster bertuliskan “Kesejahteraan Peternak, Kemandirian Sidrap.”
Menurut data Dinas Peternakan, dalam tujuh bulan terakhir, populasi sapi potong meningkat 8 persen, dan hasil olahan susu lokal naik hampir dua kali lipat.
Semua karena sistem distribusi yang lebih tertata dan dukungan langsung dari Pemkab.
“SAR–Kanaah tidak banyak beretorika,” kata Sappe sambil tertawa kecil. “Tapi truk pakan datang tepat waktu, itu sudah cukup membuat kami percaya.”
Saya mencatat hal itu dalam buku kecil saya. Dalam banyak hal, gaya kepemimpinan Syaharuddin Alrif memang khas: teknokrat tapi membumi.
Bersambung………..
Media Portal Berita Berbadan Hukum
PT WEPRO DIGITAL INDONESIA
Kemenkum HAM RI
No. AHU-0190238.AH.01.11,
Nomor Induk Berusaha: 0809240015028,
Rekening Perusahaan No: 120-003-000013438-6 (Bank Sulselbar)
Jl. Ganggawa No. 149 Tellu Limpoe, Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan. Phone: +62 823 4898 1986
Email:
katasulsel@mail.com (Redaksi)
katasulsel@mail.com ( Marketing )
katasulsel@mail.com ( Kerjasama )
Tidak ada komentar