Oleh: Edy Basri
Pagi itu, saya berdiri di atas perbukitan Pabbaresseng, Kecamatan Watang Pulu, Kabupaten Sidenreng Rappang.
Dari ketinggian ini, pemandangan luar biasa terbentang: deretan turbin raksasa yang berdiri gagah di antara kabut pagi.
Mereka berputar anggun, seperti penari raksasa yang sedang menebar energi untuk negeri. Inilah Pembangkit Listrik Tenaga Bayu Sidrap (PLTB Sidrap) — pembangkit listrik tenaga angin pertama di Indonesia — simbol bahwa Sidrap bukan hanya lumbung padi, tapi kini juga ladang energi.
Suara angin mendesir, lembut tapi kuat, membawa aroma tanah basah dari lereng. Di balik deru baling-baling itu, saya teringat sebuah angka: 75 megawatt.
Itulah kapasitas listrik yang dihasilkan dari 30 turbin di kawasan ini — setiap satu turbin mampu menghasilkan 2,5 MW. Cukup untuk menerangi 150 ribu rumah tangga di Sulawesi Selatan.
Proyek ini, yang menelan investasi 150 juta dolar AS, dibangun oleh PT UPC Renewables Indonesia dan PT Binatek Energi Terbarukan, dan diresmikan langsung oleh mantan Presiden Joko Widodo pada Juli 2018.
Tapi, di balik data dan angka-angka besar itu, saya ingin tahu: bagaimana kehidupan masyarakat di dua desa yang menjadi “rumah” bagi kincir-kincir raksasa ini — Desa Lainungan dan Desa Mattirotasi?
Di Desa Lainungan, saya bertemu Hasanuddin (52), seorang petani jagung yang sejak dulu menanam di lereng bukit. Ia menunjuk ke arah deretan turbin yang tampak seperti tombak putih menembus langit.
“Dulu kalau angin besar, kami takut atap seng beterbangan,” katanya sambil tertawa kecil. “Sekarang, kami malah berharap angin kencang datang. Karena kalau turbin itu berputar, kami tahu Sidrap lagi kirim listrik untuk Indonesia.”
Hasanuddin bercerita, sejak proyek PLTB berdiri, banyak perubahan terasa. Jalan-jalan menuju bukit diperlebar, warga mendapat akses lebih mudah ke pasar, dan beberapa pemuda desa kini bekerja sebagai teknisi lapangan.
“Anakku yang dulu ke Makassar cari kerja, sekarang kerja di sini. Jadi penjaga panel listrik. Katanya gajinya lumayan,” ujarnya dengan mata berbinar.
Angin yang dulu hanya jadi “gangguan” bagi petani, kini justru membawa penghidupan baru. Ada kebanggaan tersendiri bagi mereka. “Kami ini orang kampung, tapi listrik yang nyala sampai Palopo, Parepare, sampai Makassar itu sebagian dari sini,” ucapnya dengan nada penuh kebanggaan.
Saya turun sedikit ke Desa Mattirotasi, desa yang letaknya tak jauh dari area turbin. Di sana saya disambut Nurhayati (43), pemilik warung kopi yang menatap turbin-turbin itu seperti menatap harapan.
“Kalau malam, suara anginnya seperti nyanyian. Dulu sepi sekali, sekarang ramai. Banyak orang datang kerja di bukit. Warung saya jadi tempat singgah,” katanya sambil menuang kopi panas ke gelas kaleng.
Menurut Nurhayati, sejak adanya PLTB, desa mereka lebih hidup. Akses listrik stabil, dan anak-anak bisa belajar tanpa khawatir mati lampu.
“Dulu kami pakai genset kalau malam. Sekarang terang terus. Dan yang paling lucu, kalau ada turbin berhenti berputar, anak-anak suka teriak, ‘Ibu, anginnya capek!’” ujarnya sambil tertawa lepas.
Saya mendengarkan mereka bercerita sambil menatap turbin yang terus berputar melawan langit biru. Di balik setiap putaran, ada kisah manusia, ada denyut kehidupan.
PLTB Sidrap bukan sekadar proyek teknologi, tapi cermin dari akselerasi energi hijau — ketika Indonesia berusaha menyeimbangkan pembangunan dengan kelestarian alam.
“Kalau kata orang kota, ini energi terbarukan,” kata Hasanuddin lagi sebelum saya pamit. “Tapi bagi kami di sini, ini energi harapan.”
Dan memang benar. Energi hijau di Sidrap bukan sekadar soal listrik rendah emisi, tapi soal perubahan cara hidup.
Dari petani yang kini akrab dengan turbin, hingga ibu warung yang belajar menjaga aliran listrik dari angin.
Semua menjadi bagian dari perjalanan energi berdaulat — yang lahir dari bumi sendiri, berputar oleh angin sendiri, untuk menyalakan negeri sendiri.
Saya menatap sekali lagi kincir-kincir di Pabbaresseng. Dalam putaran angin itu, saya melihat masa depan: masa depan yang ramah, berkelanjutan, dan berdaulat.
Sidrap telah memulainya. Indonesia sedang menyusulnya.
(*)
Energi Berdaulat untuk Indonesia Kuat — Akselerasi Energi Hijau untuk Mewujudkan Masa Depan Berkelanjutan.
Media Portal Berita Berbadan Hukum
PT WEPRO DIGITAL INDONESIA
Kemenkum HAM RI
No. AHU-0190238.AH.01.11,
Nomor Induk Berusaha: 0809240015028,
Rekening Perusahaan No: 120-003-000013438-6 (Bank Sulselbar)
Jl. Ganggawa No. 149 Tellu Limpoe, Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan. Phone: +62 823 4898 1986
Email:
katasulsel@mail.com (Redaksi)
katasulsel@mail.com ( Marketing )
katasulsel@mail.com ( Kerjasama )
Tidak ada komentar