

Oleh: Edy Basri
Ulang tahun itu, sejatinya, hanyalah sebuah tanggal di kalender.
Tapi di tangan orang yang tahu maknanya, tanggal itu bisa menjelma jadi cermin waktu.
Cermin yang memantulkan masa lalu dengan lembut, sekaligus menegur masa kini dengan diam.
Begitulah yang dilakukan DPD Partai Golkar Sidrap di usia ke-61.
Mereka tidak bersorak. Tidak berpesta.
Di bawah kepemimpinan H. Zulkifli Zain, Golkar Sidrap memilih cara yang lain—cara yang lebih sunyi, tapi lebih manusiawi.
Mereka memilih untuk menyapa kembali nurani.
Pasar murah dibuka untuk rakyat pra-sejahtera.
Pemeriksaan kesehatan digelar tanpa pamrih.
Ziarah dilakukan ke makam para pahlawan.
Doa dilangitkan di pondok pesantren.
Namun dari sekian banyak kegiatan itu, satu kegiatan terasa paling menggetarkan—
Kunjungan ke para sepuh Golkar.
Sederhana, tapi dalam.
Tenang, tapi mengguncang hati yang melihatnya.
Karena bukan baliho yang disiapkan.
Bukan kamera yang dituju.
Yang mereka bawa hanyalah niat tulus: mengetuk pintu masa lalu dengan tangan penuh hormat.
Satu per satu rumah mereka disambangi.
Hj. Andi Ice Candeng.
Drs. Hindar Jaya.
Drs. Asnawi.
Drs. H. Abu Bakar Deny.
Drs. H. Mansur Panggala.
Ketika pintu terbuka, waktu seolah berhenti sejenak.
Di balik wajah yang mulai digurat usia, ada cahaya yang berbeda—cahaya kebanggaan yang kembali menyala.
Beberapa dari mereka tertawa.
Beberapa meneteskan air mata.
Dan tak sedikit yang memeluk erat para kader muda seolah memeluk anak sendiri.
“Baru kali ini kami didatangi begini,” ujar salah satu tokoh, suaranya parau tapi hangat.
“Dulu kami yang berjalan menjemput masa depan. Sekarang, masa depan yang datang menjemput kami.”
Tangis bahagia pun pecah pelan.
Tangan yang dulu mengepal di rapat partai kini bergetar ketika menepuk bahu para kader muda.
Di mata mereka, waktu bukan musuh, melainkan jembatan panjang yang menghubungkan generasi.
Zulkifli Zain, Achmad Shalihin Halim, Andi Bachri Sugiarno dan yang lainnya hanya menunduk.
Matanya basah. Tapi bibirnya tersenyum.
Ia tahu, hari itu bukan tentang seremonial.
Ini tentang penghormatan yang telah lama tertunda.
Para sepuh tak sekadar menerima kunjungan.
Mereka berbagi cerita. Menyalakan kembali api kecil yang dulu mereka jaga dalam gelap masa politik yang keras.
Mereka memberi nasihat, memberi semangat.
“Jangan lupa akar kalian,” kata salah satu.
“Partai ini besar karena kebersamaan, bukan karena jabatan.”
Kata-kata itu sederhana, tapi seperti petir yang menggema dalam hati para kader muda.
Ada keheningan sesudahnya—hening yang penuh makna.
Golkar Sidrap tahun ini memang tak menyalakan kembang api.
Tapi mereka menyalakan sesuatu yang lebih terang—
api penghormatan kepada sejarahnya sendiri.
Di teras rumah tua itu, waktu seperti berhenti.
Yang tersisa hanyalah pandangan mata penuh kasih antara yang tua dan yang muda.
Antara mereka yang pernah menanam, dan mereka yang kini menjaga agar pohon itu tak tumbang.
Beringin tua itu masih kokoh berdiri.
Akar-akarnya menjalar jauh ke masa lalu.
Batangnya tegak di masa kini.
Rantingnya menggapai masa depan.
Dan di Sidrap, tahun ini,
pohon itu kembali disirami—
dengan air mata haru, pelukan hangat, dan doa para sepuh yang tak pernah berhenti mencintai partainya.
Di wajah-wajah tua itu, ada ketenangan.
Ada rasa lega.
Ada keyakinan bahwa perjuangan mereka tak sia-sia.
Karena di depan mereka berdiri generasi baru yang masih tahu caranya menunduk,
masih ingat caranya berterima kasih.
Dan itulah, mungkin, makna paling dalam dari usia ke-61—
bukan soal tua atau muda,
melainkan tentang ingat dari mana semua ini bermula. (*)
Tidak ada komentar