Kasi Penkum Kejati Sulsel Soetarmi SH MHMakassar, katasulsel.com — Siang itu, lantai lima Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan tampak lebih lengang dari biasanya. Tak ada hiruk-pikuk wartawan, tak ada kerumunan pejabat lalu-lalang. Hanya derap langkah sepatu, suara pintu besi berderit, dan udara yang terasa tegang—seolah membawa kabar penting yang belum sepenuhnya terucap.
Di balik dinding bercat krem itu, empat anggota DPRD Kabupaten Bone satu per satu hadir memenuhi panggilan penyidik bidang Pidana Khusus. Mereka datang tanpa iring-iringan, tanpa atribut jabatan, hanya membawa diri dan rasa penasaran publik di belakang mereka.
Nama-nama yang disebut cukup mencuri perhatian: Andi Muh Salam, Andi Ryad Padjalangi, Andi Fadli Lura, dan Rangga Risaswara. Keempatnya tercatat sebagai legislator periode 2019–2024, tiga di antaranya masih aktif, sementara satu lainnya telah menuntaskan masa baktinya.
Namun penting digarisbawahi: mereka tidak sedang diperiksa sebagai tersangka, melainkan hadir atas undangan untuk klarifikasi. Kasusnya pun masih dalam tahap penyelidikan awal.
Desas-desus dugaan penyimpangan dana Pokok-pokok Pikiran (Pokir) memang sudah lama berembus di Bone. Dana yang dirancang sebagai jembatan antara aspirasi rakyat dan pemerintah itu, belakangan disebut-sebut banyak melenceng arah. Proyek yang mestinya membangun, justru sering dituding tak jelas manfaatnya.
“Benar, ada beberapa anggota DPRD yang dipanggil untuk klarifikasi. Semuanya masih dalam proses penyelidikan,” kata Soetarmi, Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasipenkum) Kejati Sulsel, kepada katasulsel.com, Kamis (23/10/2025).
Ia menegaskan, penyidik hanya memanggil pihak-pihak yang memiliki relevansi dengan temuan awal. “Kasus ini sementara dalam proses penyelidikan. Belum ada pemeriksaan mendalam, semua masih tahap klarifikasi,” tegasnya.
Sementara itu, suara publik Bone mulai bergema. Andi Akbar Napoleon, Ketua Laskar Arung Palakka — organisasi masyarakat yang pertama kali melaporkan kasus Pokir — meminta kejaksaan bergerak cepat.
“Kalau lamban, kami akan minta Jaksa Agung turun langsung. Kami ingin penegakan hukum yang bersih, bukan sekadar formalitas,” ujarnya tegas.
Ia juga berharap agar Jaksa Agung ST Burhanuddin memberi pengawasan khusus terhadap proses ini. “Kalau penyidik memperlambat, itu juga harus diperiksa,” katanya menambahkan.
Kasus dana Pokir ini, bagi masyarakat Bone, bukan sekadar soal angka dan proyek. Ini soal kepercayaan publik terhadap wakilnya sendiri. Dana yang semestinya menjadi bukti komitmen kepada rakyat, justru memunculkan bayang-bayang kepentingan pribadi dan politik.
Kini, semua mata tertuju ke Kejati Sulsel.
Apakah proses klarifikasi ini akan berhenti di meja penyelidikan, ataukah menjadi pintu masuk menuju tahap penyidikan yang lebih dalam — waktu yang akan menjawabnya.
Yang pasti, rakyat Bone masih menunggu.
Bukan sekadar siapa yang dipanggil, tapi siapa yang akhirnya berani bertanggung jawab. (*)
Editor: Edy Basri
Tidak ada komentar