AKP Setiawan Sunarto bersama keluarga kecilnya
Pagi tadi, Sidrap masih diselimuti kabut tipis. Jalanan depan Polres tampak lengang, hanya suara motor anggota yang datang satu per satu.
Di halaman, saya berdiri agak jauh, menatap bangunan yang selama ini menjadi saksi banyak hal — dari jumpa pers pengungkapan kasus, hingga tawa kecil di sela malam-malam penyelidikan.
Tapi pagi itu lain.
Hari itu, seorang perwira muda disebutkan akan pindah tugas.
Nama itu: AKP Setiawan Sunarto.
Saya mengenalnya bukan sekadar sebagai pejabat polisi. Tapi sebagai manusia baik dalam seragam negara.
Ia akan pindah tugas ke Polda Sulsel. Sebuah promosi, katanya dengan senyum. Tapi bagi kami — para jurnalis, para anggota, para warga yang mengenalnya — itu lebih seperti kehilangan kecil yang diam-diam terasa besar.
Setiawan bukan tipe polisi yang menunggu disampaikan. Ia yang biasanya lebih dulu menanyakan kabar.
“Bang, lagi di mana? Aman kah liputannya?”
Sederhana. Tapi di dunia yang sibuk dan penuh ego ini, kepedulian kecil begitu langka.
Dalam banyak kesempatan, saya menyaksikan bagaimana Setiawan memperlakukan semua orang dengan setara. Dari tukang parkir di depan Mapolres, sampai wartawan muda yang baru belajar menulis lead. Tak ada jarak. Tak ada sekat.
Kalau boleh, izinkan saya menulis, “orang yang tetap manusia di tengah sistem yang menggiling,” maka begitulah Setiawan di mata saya. Seorang perwira muda yang tak kehilangan sisi manusianya di tengah kerasnya dunia kepolisian.
Ada satu malam yang selalu saya ingat. Malam yang panjang, di tengah hujan.
Sebuah kasus pencurian kendaraan bermotor baru saja diungkap. Saya datang terlambat, dan menemukan Setiawan masih duduk di depan ruang Reskrim, rokok anggota disampingnya hampir habis.
“Bang, jangan tulis dulu. Kita pastikan dulu barang bukti aman,” katanya.
Tidak ada nada perintah, tapi kalimat itu cukup untuk membuat saya menutup buku catatan.
Ia tidak ingin headline mendahului proses hukum. Ia tidak ingin sensasi mengalahkan fakta.
Begitulah dia bekerja. Tegas, tapi hati-hati. Cepat, tapi tidak serampangan.
Dan di sanalah, saya mulai belajar satu hal: menjadi polisi bukan cuma soal menangkap pelaku, tapi menjaga keseimbangan antara keadilan dan kemanusiaan.
Ia lahir di Pelaihari, Kalimantan Selatan. 28 Desember 1992. Anak Banjar yang tumbuh dalam kultur keras tapi hangat. Sejak kecil ia sudah terbiasa bangun pagi, membantu keluarga, dan belajar disiplin dari lingkungan yang sederhana.
Lulus SMA Negeri 2 Banjarmasin tahun 2011, ia langsung menapaki jalan panjang menuju Akademi Kepolisian.
Enam tahun kemudian, pada 2016, ia resmi menyandang pangkat Ipda.
Dari situ, hidupnya berpindah-pindah — Ambon, Makassar, Parepare, dan akhirnya Sidrap.
Tiap kota menyisakan cerita. Tapi Sidrap, katanya, “punya ruang paling besar di hati.”
Ketika pertama kali datang ke Sidrap, Desember 2024, Setiawan seperti sedang menyiapkan lembar baru dalam hidupnya.
Ia datang tanpa banyak kata, tapi langsung bekerja.
Kasus demi kasus terbuka di bawah kepemimpinannya: pencurian besar, pembunuhan misterius, bahkan beberapa perkara yang sempat “macet” di meja penyidik, satu per satu bergerak lagi.
Tidak ada komentar