Bupati, Wabup dan IJ saat hadir langsung mendukung Syaqirah Lalu suara itu keluar — suara yang seolah memotong udara:
“Yang pertama lolos ke **Top 7 Dangdut Academy 7 adalah… Syaqirah — Sidrap!”
Dan studio pun meledak.
Saya tak tahu siapa yang berteriak paling keras malam itu. Mungkin saya sendiri. Tapi yang pasti, Bupati Sidrap berdiri lebih dulu daripada siapa pun. Tangannya terangkat tinggi, wajahnya bersinar, dan beberapa detik kemudian ia benar-benar melompat kecil.
“Syaqirah… Syaqirah lolos!” teriaknya, dan para pendukung di sekitarnya langsung berdiri. Kamera menangkap momen itu. Dan kalau Anda menonton tayangan ulangnya di Indosiar, Anda akan lihat — di tengah cahaya panggung, seorang Bupati dari ujung Sulawesi itu melompat karena bahagia.
Sebuah pemandangan langka. Tapi juga indah.
Bupati Sidrap bukan hanya datang untuk menonton. Ia datang dengan hati yang ikut berjuang. Menurut cerita para pendukung, beliau bahkan ikut mengirimkan virtual gift DBOSS dari akun pribadinya — sebuah bentuk dukungan nyata yang jarang dilakukan oleh pejabat publik di tengah acara hiburan.
Bagi beliau, ini bukan hiburan. Ini kebanggaan daerah.
“Syaqirah bukan hanya wakil Sidrap atau Sulawesi Selatan,” katanya kemudian. “Dia adalah kehormatan bagi seluruh warga Bugis di mana pun berada.”
Malam itu, suara Syaqirah seperti menghidupkan sesuatu yang lama tertidur: rasa percaya diri orang Bugis dalam panggung nasional.
Kita, orang Bugis, terbiasa bekerja diam-diam. Kita kuat di laut, tangguh di darat, tapi jarang bersuara di panggung seni. Karena itu ketika ada satu anak Sidrap berdiri di panggung besar, disaksikan jutaan orang, dan menyanyi dengan suara lembut tapi tajam, seluruh identitas itu seperti mendapatkan ruang baru.
Syaqirah tak hanya menyanyi. Ia sedang memperkenalkan Bugis dalam bentuk yang paling lembut — suara.
Bagi orang luar, mungkin ini hanya kompetisi dangdut. Tapi bagi masyarakat Sidrap dan Sulsel, ini seperti tarian harga diri. Karena di panggung itu, setiap nada menjadi lambang keberanian. Setiap langkah menjadi bukti bahwa tanah jauh di timur sana tidak pernah kekurangan talenta.
Saya sudah lama mengikuti dunia politik daerah. Tapi malam itu saya melihat sesuatu yang lebih segar daripada debat anggaran atau rapat seremonial: seorang Bupati yang benar-benar hidup di tengah rakyatnya.
Syaharuddin Alrif bukan pejabat yang menjaga jarak. Di studio, ia duduk di barisan tengah, tidak di kursi VIP yang dipisahkan. Ia bercengkerama dengan para pendukung, berfoto bersama anak muda, bahkan menyalami mereka satu per satu ketika hasil diumumkan.
Bahkan lebih menarik, di malam sebelumnya, rombongan anggota DPRD Kabupaten Wajo hadir juga. Mereka datang dikoordinir oleh H. Ibnu Hajar dari Fraksi Gerindra. “Kami datang bukan karena politik,” kata H. Ibnu. “Kami datang karena dia membawa nama Sulsel.”
Ada sesuatu yang lembut di balik peristiwa ini. Sesuatu yang jarang kita lihat di Indonesia: politik yang larut dalam kebanggaan daerah, bukan perebutan kepentingan.
Di malam itu, dangdut menyatukan apa yang politik sering pecah belah.
Bagi yang belum tahu, di ajang Dangdut Academy 7, penonton tidak hanya bisa memberikan suara lewat SMS. Mereka bisa mengirim “Virtual Gift” — semacam sumbangan digital yang disebut DBOSS, DSULTAN, dan sebagainya.
Dan masyarakat Sidrap melakukannya dengan cara yang luar biasa.

“Setiap malam, kita patungan,” kata seorang pendukung di luar studio. “Ada yang kirim lima ribu, ada yang lima puluh ribu. Pokoknya asal bisa buat Syaqirah tetap di panggung.”
Di grup WhatsApp “Syaqirah Lovers”, ada semacam semangat baru: gotong royong digital. Bukan lagi arisan atau pengajian, tapi dukungan budaya lewat dunia maya.
Pengusaha-pengusaha tambang nikel dari Sulawesi Tenggara bahkan ikut turun tangan. “Kami tahu perjuangan anak daerah tidak mudah,” kata salah satu di antara mereka. “Syaqirah membawa nama kita juga.”
Dan memang, menurut hasil resmi Indosiar malam itu, Syaqirah mendapat virtual gift tertinggi dari seluruh finalis.
Angka itu bukan sekadar jumlah digital. Itu adalah bentuk cinta, rasa bangga, dan solidaritas yang tak bisa dinilai uang.
Tidak ada komentar