
Risiko sistemik outsourcing terletak pada fragmentasi. Ketika terlalu banyak pihak terlibat, pengawasan mikro menjadi melelahkan. Dan ketika pengawasan mikro melelahkan, risiko administratif meningkat.
Sekali lagi: yang berisiko adalah sistemnya, bukan aktor di dalamnya.
Sektor energi berkembang cepat. Teknologi berubah. Kebutuhan beban listrik meningkat. Industri digital membutuhkan stabilitas pasokan 24 jam. Namun regulasi tidak selalu mengikuti kecepatan perubahan itu. Ketika aturan tertinggal, pelaksana di lapangan sering harus mengambil keputusan dalam abu-abu administratif. Keputusan seperti ini sah, asalkan dapat dipertanggungjawabkan. Tetapi ruang abu-abu selalu berpotensi menjadi ruang celah.
Dalam editorial tajam, ruang semacam ini disebut “wilayah tak bertuan,” yakni wilayah kebijakan yang tidak jelas apakah tunduk pada regulasi lama atau harus menunggu regulasi baru. Dalam wilayah tak bertuan, risiko muncul bukan karena penyimpangan, tetapi karena ketiadaan pedoman.
Satu hal yang membuat sektor energi berbeda dengan sektor lain adalah kesenjangan informasi. Publik dapat menilai harga beras, biaya transportasi, kualitas layanan kesehatan. Namun siapa dari kita yang mampu membaca power purchase agreement? Atau menilai harga kabel transmisi 500 kV? Atau menilai rasionalitas adendum proyek pembangkit?
Tidak ada.
Kesenjangan ini menciptakan ruang yang dalam teori disebut structural opacity—kegelapan struktural. Kegelapan ini bukan disengaja, tetapi lahir dari sifat teknis industri. Namun konsekuensinya jelas: ketika publik tidak dapat mengawasi, maka risiko sistemik meningkat secara otomatis.
Setelah semua paparan di atas, jelas bahwa celah bukan terletak pada orang. Celah terletak pada sistem. Pada struktur birokrasi yang belum ramping, pada regulasi yang belum selalu sinkron, pada pengawasan yang belum selalu sebanding dengan skala kerja.
Karena itu, langkah yang diperlukan bukan mencari kesalahan, tetapi mempersempit ruang abu-abu:
memperkuat sistem data aset;
membangun mekanisme transparansi proyek besar;
membenahi manajemen pengadaan;
mengoptimalkan supervisi kontrak;
dan yang paling penting: memastikan prinsip keterbukaan berjalan tanpa hambatan.
Penataan ini bukan hanya untuk meminimalkan risiko penyimpangan. Penataan ini adalah bagian dari memastikan pelayanan publik tetap berada pada rel integritas.
Menutup Celah Agar Cahaya Tidak Terganggu
PLN adalah institusi vital. Ia tidak boleh hanya kuat secara teknis, tetapi harus kuat secara tata kelola. Risiko tidak hilang hanya dengan niat baik; risiko hilang ketika sistem diperketat. Ketika prosedur diperbaiki. Ketika ruang diskresi dipersempit. Ketika transparansi diperluas. Dan ketika publik diberikan akses informasi minimal untuk memahami keputusan-keputusan besar.
Tulisan ini bukan kritik pada manusia. Tulisan ini kritik pada struktur: struktur yang terlampau besar, terlalu kompleks, dan belum selalu setransparan yang publik butuhkan.
Selama celah sistemik tidak ditutup, cahaya PLN akan selalu membawa bayang-bayang.
Dan tugas negara adalah memastikan bayang-bayang itu tidak pernah menjelma menjadi gelap (*)
Tidak ada komentar