Rektor UMS Rappang (Sidrap) Tiba di Taiwan Oleh: Edy Basri
Style-nya biasa-biasa saja, mirip dengan penumpang-penumpang pesawat lainnya, cuma pakai topi, jaket ala-ala jas Korea, kaus berkerah, celana jeans hitam. Tidak ada rombongan. Tidak ada ajudan. Hanya koper kecil saja.
Dia adalah Prof. Dr. H. Jamaluddin Ahmad. Rektor UMS Rappang. Tapi orang asing yang melihatnya mungkin justru menebak ia manajer klub bola yang hendak meninjau pemain mudanya. Atau pebisnis yang sedang melakukan inspeksi tiba-tiba. Bukan rektor.
Ia datang ke Taiwan bukan untuk acara seremonial. Bukan pula untuk konferensi internasional. Ia datang untuk satu urusan sederhana tapi penting: memastikan enam mahasiswa kuliner UMS Rappang benar-benar belajar di dapur-dapur yang mendidik tanpa ampun.
Pada 18–20 November 2025 itu, ia bergerak dari Yunlin ke Nantou, lalu ke Tainan. Menyapa mahasiswa. Mengobrol dengan chef. Mendengar penilaian supervisor. Mengukur dengan matanya sendiri.
Yang menarik, perjalanan itu terjadi tepat setelah ia membuka Bimtek PPG di kampusnya, 15–16 November. Seolah ritme kerjanya menyatu antara guru dan mahasiswa, antara kelas dan dapur, antara pembentukan identitas profesional dan pembentukan karakter kerja internasional.
Saat membuka Bimtek PPG, Prof. Jamaluddin mengatakan bahwa PPG adalah transformasi diri—bukan syarat administratif. Ia meminta para guru menatap PPG sebagai proses membentuk identitas profesional: etika, karakter, kedisiplinan.
Saya tidak menyangka, dua hari kemudian saya melihat sendiri bagaimana kalimat itu seperti punya kaki dan berjalan bersamanya sampai ke Taiwan.
Di Nobel Hotel Yunlin, ia memeriksa stasiun kerja mahasiswinya.
Di Hoyaku Restaurant Nantou, ia mengamati bagaimana adaptasi mahasiswa berjalan di tengah disiplin ala Jepang-Taiwan.
Di Norway Forest Hotel Tainan, ia menyimak bagaimana SOP ketat diterapkan layaknya protokol penerbangan.
Dan dalam setiap kunjungan, saya melihat satu pola:
Ia tidak pernah hanya “melihat-lihat”.
Ia selalu menanyai: bagaimana adaptasimu? bagaimana ritmenya? bagaimana tekanan kerjanya?
Pertanyaan yang sama seperti ketika ia berbicara kepada para peserta PPG: “Proses ini akan menekan Anda, tapi justru dari situ Anda tumbuh.”
Guru PPG ditekan oleh portofolio, perangkat ajar, dan tes kinerja.
Mahasiswa kuliner ditekan oleh suhu dapur, tuntutan plating, ritme kerja tanpa jeda.
Tekanan yang sama. Bentuknya saja berbeda.
Ketika membuka Bimtek PPG, ia berbicara tentang integritas guru.
Ketika memantau dapur mahasiswa, ia berbicara tentang etos kerja.
Dan rupanya, di kepalanya, dua dunia itu saling terhubung.
“Profesionalitas itu sama saja di mana-mana,” katanya dalam perjalanan dari Nantou ke Tainan.
“Guru dituntut disiplin, mahasiswa kuliner juga. Dunia kerja itu tegas kepada siapa saja yang tidak siap.”
Saya mulai mengerti cara pikirnya.
Internasionalisasi kampus itu bukan hanya tentang mahasiswa ke luar negeri.
Internasionalisasi juga terjadi ketika para guru PPG dibentuk menjadi tenaga pendidik yang berkelas global—bermental kuat, berkarakter profesional, berintegritas.
Di ruang Bimtek PPG, ia menekankan pentingnya guru memahami perubahan zaman.
Di dapur Taiwan, ia ingin mahasiswanya memahami standar dunia kerja internasional.
Dua hal itu ternyata saling menjelaskan satu sama lain.
Yang menarik, rektor ini tidak mengajar panjang. Ia tidak suka khutbah yang meluas. Ia menyampaikan pesan pendek-pendek, tapi masuk ke inti.
Kepada peserta PPG ia bilang:
“PPG bukan syarat. Ini ruang perubahan diri.”
Kepada mahasiswa kuliner ia bilang:
“Belajar ritmenya. Jangan hanya bekerja.”
Dan kepada manajemen hotel Taiwan ia bilang:
“Kami ingin mahasiswa kami mendapat pengalaman kerja internasional yang sesungguhnya.”
Nada suaranya sama. Hanya konteksnya yang berubah.
Perjalanan singkat itu berakhir ketika ia kembali menutup koper hitamnya.
Tiga hari saja.
Tidak cukup untuk wisata.
Sangat cukup untuk memastikan arah.
Di pesawat pulang, saya baru menyadari pola besar dari semua kegiatannya seminggu terakhir.
Ia membuka PPG untuk membentuk guru masa depan.
Ia terbang ke Taiwan untuk memastikan kualitas lulusan vokasional.
Ia memantau tes substantif PPG demi menjaga transparansi.
Ia memeriksa dapur mahasiswa demi menjamin standar internasional.
Semuanya punya benang merah: UMS Rappang ingin melahirkan lulusan yang benar-benar profesional—baik yang mengajar di kelas, maupun yang bekerja di dapur internasional.
Dan langkah cepatnya sepanjang koridor Bandara Taoyuan, dengan topi santai dan koper sedang, menjadi simbol kecil yang tidak ia sadari:
internasionalisasi itu bisa dimulai dari keberanian untuk melihat sendiri.
Tidak ada komentar