Ilustrasi simbol kemiskinanSoppeng, Katasulsel.com — Kabupaten Soppeng menunjukkan sinyal perbaikan sosial-ekonomi yang konsisten dalam dua dekade terakhir. Data kependudukan dan kemiskinan periode 2004–2024 mencerminkan tren yang kian relevan untuk dibaca dalam konteks kepemimpinan daerah saat ini di bawah Bupati Soppeng, Suwardi Haseng.
Pada 2024, jumlah penduduk Soppeng tercatat sekitar 241 ribu jiwa, meningkat dibandingkan dua dekade sebelumnya. Di saat yang sama, persentase penduduk miskin turun ke kisaran 6,9 persen, atau sekitar 15–16 ribu jiwa. Angka ini menempatkan Soppeng sebagai salah satu daerah dengan tingkat kemiskinan relatif rendah di Sulawesi Selatan.
Tren ini tidak hadir secara instan. Secara historis, Soppeng pernah berada pada fase kemiskinan dua digit, terutama pada rentang pertengahan 2000-an hingga awal 2010-an. Penurunan yang lebih stabil baru terlihat setelah 2015 dan berlanjut hingga kini. Dalam perspektif ekonomi pembangunan, kondisi tersebut menunjukkan adanya perbaikan pada indikator kesejahteraan makro, meskipun masih menyisakan tantangan mikro di tingkat rumah tangga.
Di bawah kepemimpinan Bupati Suwardi Haseng, pemerintah daerah menghadapi fase krusial: menjaga tren penurunan kemiskinan agar tidak bersifat semu atau temporer. Para analis menilai, tantangan utama Soppeng ke depan bukan sekadar menurunkan angka kemiskinan, melainkan memutus mata rantai kemiskinan struktural.
Kemiskinan struktural terjadi ketika rumah tangga miskin terjebak pada keterbatasan aset produktif, rendahnya kualitas sumber daya manusia, serta minimnya akses terhadap layanan dasar yang bermutu. Dalam konteks ini, kebijakan daerah dituntut tidak hanya bersifat kuratif melalui bantuan sosial, tetapi juga preventif dan transformatif.
Pendekatan yang kini menjadi sorotan adalah penguatan determinan sosial ekonomi, seperti peningkatan kualitas pendidikan, akses layanan kesehatan primer, serta penciptaan lapangan kerja berbasis potensi lokal. Soppeng, yang selama ini ditopang sektor pertanian dan usaha mikro, memiliki peluang besar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi inklusif jika kebijakan diarahkan pada peningkatan produktivitas dan nilai tambah.
Pertumbuhan penduduk yang terus meningkat juga membawa implikasi serius. Jika tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas tenaga kerja, Soppeng berisiko mengalami demographic pressure, yakni kondisi di mana beban penduduk usia produktif tidak diiringi kesempatan kerja yang memadai. Sebaliknya, jika dikelola dengan baik, situasi ini justru dapat menjadi bonus demografi yang mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah.
Dalam konteks kepemimpinan Suwardi Haseng, konsistensi kebijakan menjadi faktor kunci. Penurunan kemiskinan yang telah dicapai akan sulit dipertahankan tanpa tata kelola pembangunan berbasis data. Integrasi data kependudukan, peta kemiskinan, serta indikator kesehatan dan pendidikan dinilai penting untuk memastikan intervensi pemerintah tepat sasaran.
Tidak ada komentar