Wanita Hebat dari Enrekang, Namanya Sulfianingsih (Bagian-1)
Oleh: Edy Basri
Saya yakin, Sulfianingsih tidak pernah bangun pagi dengan niat: hari ini saya harus menginspirasi orang.
Ia bangun seperti kebanyakan orang Enrekang lainnya.
Melihat cuaca.
Mendengar kabar.
Membaca pesan masuk.
Kadang pesan itu pendek: banjir.
Kadang panjang: tanah longsor, warga terisolir, logistik terbatas.
Dari situlah semuanya bermula.
Tidak ada proposal. Tidak ada rapat. Tidak ada seremoni. Yang ada hanya keputusan cepat: berangkat atau tidak.
Dan hampir selalu, ia memilih yang pertama.
Enrekang adalah sekolah kehidupan.
Daerah ini tidak memanjakan warganya. Medannya naik-turun. Jalan sempit. Jarak antardesa bisa terasa jauh meski di peta terlihat dekat.
Di Enrekang, orang belajar bertahan.
Belajar sabar.
Belajar menolong.
Belajar tidak terlalu banyak mengeluh.
Nilai-nilai itu melekat pada Sulfianingsih.
Ia tumbuh dengan kesadaran bahwa hidup bukan soal siapa yang paling dulu sampai, tapi siapa yang tetap tinggal ketika orang lain pergi.
Ada satu cerita yang disampaikan seseorang kepada saya di sela acara.
Tentang satu lokasi bencana.
Tentang hujan yang tidak berhenti.
Tentang malam yang dingin.
Tentang medan yang gelap.
“Dia tidak pulang,” kata orang itu, singkat.
Sulfianingsih memilih tetap di lokasi. Padahal sebagian relawan lain sudah bergantian. Padahal kondisi tidak lagi ramah.
Saya membayangkan keputusan itu.
Sebagai perempuan.
Sebagai manusia biasa.
Dengan risiko yang nyata.
Tapi Sulfianingsih tidak mengukur risiko dengan ketakutan. Ia mengukurnya dengan kebutuhan orang lain.
Jika warga belum aman, ia belum selesai.
Di lapangan, Sulfianingsih tidak dipanggil dengan gelar.
Ia dipanggil dengan nama.
Kadang hanya: Bu.
Kadang: Ningsih.
Kadang tanpa nama sama sekali—cukup dengan tatapan minta tolong.
Tidak ada komentar