Wanita Hebat dari Enrekang, Namanya Sulfianingsih (Bagian-1)Dan ia paham.
Kepercayaan di lapangan tidak dibangun lewat jabatan. Ia dibangun lewat kehadiran yang konsisten.
Datang lagi.
Datang lagi.
Dan datang lagi.
Sebagai relawan Baznas, Sulfianingsih tahu satu hal penting: bantuan harus sampai, bukan sekadar tercatat.
Ia mengawal distribusi.
Ia memastikan tidak ada yang terlewat.
Ia mendengar langsung keluhan penerima.
Kerja semacam ini jarang masuk laporan besar. Tapi dampaknya nyata.
Bagi warga yang menerima bantuan, Sulfianingsih bukan representasi lembaga. Ia adalah wajah kepedulian.
Hari Ibu sering dirayakan dengan bunga.
Dengan ucapan manis.
Dengan foto keluarga.
Dengan kalimat penuh haru.
Bagi Sulfianingsih, Hari Ibu adalah hari kerja seperti biasa.
Ibu adalah mereka yang tetap kuat saat keadaan tidak ramah. Yang tetap berdiri saat situasi tidak adil.
Hari itu, ia berdiri di panggung.
Tapi esoknya, ia kembali menjadi relawan.
Tidak ada yang berubah.
Gubernur Sulsel memberi apresiasi. Wakil Gubernur menjelaskan program.
Semua itu penting.
Namun yang lebih penting adalah pesan simbolik: bahwa negara melihat kerja-kerja sunyi.
Bahwa inspirasi tidak harus viral.
Bahwa perempuan dari daerah bisa berdiri sejajar karena pengabdian.
Wakil Bupati Enrekang menyampaikan kebanggaan.
Tapi kebanggaan Enrekang tidak diekspresikan dengan pesta. Ia diekspresikan dengan pengakuan sederhana: itu warga kami.
Dan Sulfianingsih tetap rendah hati.
Ia menerima penghargaan bukan sebagai puncak, melainkan sebagai jeda.
Sebentar.
Untuk kemudian melangkah lagi.
Saya melihatnya turun dari panggung.
Wajahnya tenang.
Tidak euforia. Tidak berlebihan.
Seperti seseorang yang tahu: yang berat justru menunggu di luar ruangan ini.
Karena bencana tidak menunggu kalender.
Tidak ada komentar