Firman PerkesiSalah satu hal yang selalu saya apresiasi dari Firman adalah pandangannya tentang pembangunan daerah. Ia tidak terjebak pada proyek-proyek mercusuar.
Ia lebih tertarik pada keberlanjutan. Pada sinergi antara pemerintah, legislatif, dan masyarakat.
Isu pengelolaan gas alam di Wajo, misalnya, menjadi salah satu perhatian seriusnya. Ia melihat potensi itu bukan sekadar angka investasi.
Tetapi sebagai peluang strategis untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat—jika dikelola dengan bijak, transparan, dan berpihak pada daerah.
Pandangan seperti ini lahir dari pengalaman panjang di birokrasi. Firman tahu betul bagaimana sebuah kebijakan bisa gagal bukan karena konsepnya buruk, tetapi karena implementasinya tidak berpijak pada realitas.
Waktu kembali mempertemukan kami terakhir kali pada tahun 2023. Di sebuah bandara di Jakarta. Pertemuan singkat. Tidak direncanakan.
Tidak dramatis. Tapi cukup untuk mengonfirmasi satu hal penting: Firman tidak berubah.
Di tengah hiruk-pikuk bandara, ia tetap bersahaja. Tidak ada gestur berlebihan. Tidak ada aura kekuasaan yang dipaksakan. Kami berbincang ringan. Tentang Wajo. Tentang politik. Tentang masa depan daerah. Seperti dua orang lama yang saling memahami tanpa perlu banyak kata.
Sebagai jurnalis, saya terbiasa bersikap kritis. Saya tahu kekuasaan bisa mengubah siapa saja. Tapi dalam diri Firman, saya melihat konsistensi yang jarang.
Dari seorang ASN yang tekun, hingga kini menjadi Ketua DPRD, karakternya tetap utuh.
Ia tidak pernah kehilangan akal sehat. Ia tidak tergoda untuk menjadi tokoh yang ingin selalu dipuji. Ia lebih nyaman bekerja dalam senyap. Dalam sistem. Dalam proses yang mungkin tidak selalu terlihat, tapi berdampak.
Firman Perkesi bukan politisi instan. Ia adalah hasil dari perjalanan panjang. Dari ruang birokrasi yang sunyi. Dari keputusan-keputusan teknokratis.
Tidak ada komentar