Sabtu, 27 Des 2025

DPRD Wajo 2025: Bekerja Pelan, Menjaga Arah

Katasulsel.com
26 Des 2025 19:34
Berita 0 148
11 menit membaca

Di sela-sela percakapan, saya sempat bertanya dalam hati: kapan seorang legislator merasa puas?

Jawabannya hampir pasti: tidak pernah sepenuhnya.

Karena setiap keputusan politik selalu meninggalkan sisa. Sisa pertanyaan. Sisa ketidakpuasan. Sisa harapan yang belum sempat diwujudkan.

Firman Perkesi tahu betul itu.

Banner Promosi WiFi

Ia sudah cukup lama berada di ruang-ruang rapat yang dingin oleh pendingin udara, tapi panas oleh perdebatan. Ia paham bahwa fungsi legislasi bukan panggung untuk tepuk tangan. Ia lebih sering menjadi ruang untuk adu argumen, adu data, dan adu kesabaran.

“Kadang orang berpikir perda itu cuma ketok palu,” katanya. “Padahal sebelum palu diketok, ada proses panjang yang jarang terlihat.”

Ia lalu bercerita soal pembahasan rancangan peraturan daerah. Tentang naskah akademik yang harus dibedah. Tentang harmonisasi dengan regulasi di atasnya. Tentang konsultasi ke pemerintah provinsi, bahkan kementerian.

Semua itu bukan formalitas.

Salah tafsir satu pasal bisa membuat perda dibatalkan. Salah rujukan regulasi bisa membuat kebijakan daerah lumpuh di tengah jalan.

Di sinilah DPRD bekerja sebagai penjaga akal sehat legislasi.

Bukan hanya menyetujui. Tapi memastikan regulasi itu masuk akal, tidak bertabrakan, dan dapat dilaksanakan.

Saya teringat banyak perda di daerah lain yang akhirnya menjadi dokumen mati. Sah secara hukum, tapi tidak bergerak dalam praktik. Firman tidak ingin itu terjadi di Wajo.

“Kalau perda tidak bisa dijalankan,” katanya, “itu sama saja kita menipu diri sendiri.”

Maka pembahasan perda sering kali berjalan lambat. Terlalu lambat, menurut sebagian orang. Tapi bagi Firman, lambat lebih baik daripada salah.

Di fungsi anggaran, tekanan justru datang dari banyak arah.

Eksekutif datang dengan program. Masyarakat datang dengan tuntutan. Pemerintah pusat datang dengan kebijakan nasional. Semua ingin masuk ke APBD.

DPRD berada di tengah-tengah.

Ia harus rasional, tapi juga empatik. Harus taat aturan, tapi tetap peka.

Dalam pembahasan KUA-PPAS, misalnya, perdebatan bukan soal angka semata. Tapi soal prioritas. Soal siapa yang didahulukan. Soal sektor mana yang paling mendesak.

Pendidikan. Kesehatan. Infrastruktur. Pemberdayaan ekonomi. Semua penting. Semua mendesak.

Tapi fiskal daerah tidak elastis.

“Kami harus realistis,” kata Firman. “Kalau dipaksakan, risikonya justru program tidak optimal.”

Keputusan-keputusan seperti itu jarang mendapat tepuk tangan. Bahkan sering berujung kritik. Tapi DPRD tetap harus mengambil sikap.

Reses menjadi fase paling jujur dalam seluruh siklus kerja DPRD.

Di sana, legislator tidak bisa bersembunyi di balik istilah teknokratis. Mereka berhadapan langsung dengan masyarakat. Dengan keluhan yang konkret. Dengan nada suara yang kadang tinggi.

Firman menyebut reses sebagai “ruang pengingat”.

Pengingat bahwa di balik dokumen APBD, ada wajah manusia. Ada petani yang menunggu irigasi. Ada ibu rumah tangga yang berharap bantuan usaha. Ada anak muda yang ingin pekerjaan.

Semua itu dicatat. Disaring. Dimasukkan dalam pokok-pokok pikiran DPRD.

Sejumlah anggota DPRD Kabupaten Wajo mengikuti kegiatan bimbingan teknis (bimtek) akhir tahun 2025 yang menghadirkan pemateri dari instansi terkait pengawasan dan pencegahan korupsi, hasil kerja sama dengan Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Provinsi Sulawesi Selatan, yang berlangsung di Hotel Aryaduta, 21–25 Desember 2025.

Pokir sering disalahpahami sebagai titipan kepentingan. Padahal jika dijalankan sesuai mekanisme, ia adalah instrumen aspirasi yang sah dalam sistem perencanaan.

“Kami jaga itu,” kata Firman. “Pokir tidak boleh keluar dari RPJMD.”

Kalimat itu penting.

Karena di situlah garis etika DPRD diuji. Ketika aspirasi bertabrakan dengan perencanaan jangka menengah, DPRD harus berani menolak. Sekalipun itu aspirasi dari konstituennya sendiri.

Tidak mudah.

Tahun 2025 juga diwarnai dengan dinamika pengawasan yang lebih intens. DPRD meningkatkan fungsi monitoring dan evaluasi. Tidak hanya melihat laporan, tapi juga menelaah capaian kinerja.

Beberapa OPD dipanggil lebih dari sekali. Bukan untuk dimarahi. Tapi untuk diminta menjelaskan.

Kenapa realisasi rendah?
Kenapa target tidak tercapai?
Apa kendalanya?

Jawaban-jawaban itu dicatat. Dijadikan rekomendasi. Disampaikan secara resmi.

Pengawasan seperti ini tidak selalu menarik perhatian publik. Tapi ia menentukan kualitas tata kelola.

Firman menyebutnya sebagai “kerja sunyi yang harus konsisten”.

Di ruang rapat, perdebatan tidak selalu keras. Tapi intens. Kadang melelahkan.

Ia tertawa kecil ketika saya menyinggung soal stamina.

“Legislator itu,” katanya, “harus kuat duduk lama.”

Kuat membaca dokumen tebal. Kuat mendengar penjelasan berulang. Kuat menjaga fokus.

Tidak semua orang cocok dengan ritme seperti ini.

Di luar gedung DPRD, politik sering terlihat glamor. Tapi di dalam, ia lebih mirip kerja administrasi yang berat.

Saya melihat jam dinding. Waktu berjalan pelan.

Firman kembali membuka map di mejanya. Ada catatan kecil di sudut halaman. Tulisan tangan. Mungkin pengingat. Mungkin evaluasi pribadi.

“Menutup tahun,” katanya, “bukan berarti menutup pekerjaan.”

Justru di akhir tahun, DPRD harus memastikan semua catatan rapi. Semua rekomendasi tercatat. Semua agenda tahun depan mulai disusun.

Tahun anggaran boleh berakhir. Tapi siklus legislasi terus berjalan.

Dan di situlah DPRD Wajo berdiri: di antara tuntutan hari ini dan perencanaan esok hari.

(BERSAMBUNG KE PART 3 – PENUTUP)

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Media Portal Berita Berbadan Hukum

PT WEPRO DIGITAL INDONESIA
Kemenkum HAM RI
No. AHU-0190238.AH.01.11,

Nomor Induk Berusaha: 0809240015028,
Rekening Perusahaan No: 120-003-000013438-6 (Bank Sulselbar)

Jl. Ganggawa No. 149 Tellu Limpoe, Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan. Phone: +62 823 4898 1986

Email:
katasulsel@mail.com (Redaksi)
katasulsel@mail.com ( Marketing )
katasulsel@mail.com ( Kerjasama )