Tangis Janda di Sidrap: Andai Suami-ku Masih Hidup..
Panggung kayu itu sudah miring ke kiri. Tangga depannya tinggal dua anak. Atapnya bocor. Dindingnya bolong. Lantainya bunyi tiap diinjak. Dan hidup di dalamnya lebih bolong lagi.
Oleh: Edy Basri
NAMANYA Bu A. Janda. Dua kali menikah. Dua kali gagal. Yang satu pergi. Yang satu meninggal. Yang pertama bukan mati. Tapi kabur. Saat anak mereka baru bisa berjalan. Laki-laki. Namanya L.
Yang kedua lebih setia. Tapi sakit. Lama. Lalu wafat dalam pelukannya. Meninggalkan satu anak juga. Perempuan. Namanya M. Anak yang sekarang jadi tulang punggung. Di umur yang belum genap 18.
Gubuk itu berdiri di pinggir kampung. Di sebuah dusun kecil, di Kabupaten Sidenreng Rappang-Sidrap, Sulawesi Selatan.
Bukan rumah milik sendiri. Menumpang. Di atas tanah orang. Di bawah atap seadanya. Di dinding yang ditambal seng dan kain. Di lantai papan yang sudah lapuk. Kalau angin datang, pintunya terbuka sendiri. Kalau hujan turun, kasur harus dipindah.
Di situ Bu A tinggal seorang diri. Dua anaknya L dan M tak bersamanya. L pergi entah kemana. Sedang M bekerja di daerah lain. Kerja serabutan.
L jarang pulang. Kalau lapar datang. Kalau kenyang pergi. Tak peduli siapa ibunya. Tak peduli adiknya kerja apa. Tak peduli rumah itu roboh atau berdiri.
M sebaliknya. Bekerja apa saja. Jadi pelayan warung, kerja di counter handphone. Dan jika “Pulkam“, kadang bantu tetangga. Kadang juga hanya duduk di dapur. Menangis. Tapi pelan-pelan.

Ia tak ingin ibunya dengar. Karena ibunya sudah terlalu sering menangis. Kadang juga tertawa sendiri. Kadang berteriak tengah malam. Kadang memanggil nama suaminya yang sudah mati.
Tetangga bilang: gila. Dokter bilang: depresi berat. Tapi M, putrinya bilang: itu cuma luka. Luka yang terlalu lama disimpan. Luka yang terlalu dalam untuk sembuh sendiri.
📢 Ikuti Katasulsel.com di WhatsApp!
Dapatkan berita terpercaya dan update setiap hari langsung di ponsel Anda.
👉 Klik di sini & tekan Ikuti