Iron Dome Vs Kamera, Siapa Lebih Sakti?
Oleh: La Ode Arwah Rahman, Magister Ilmu Komunikasi Unhas, Penggiat Media Culture Study.
Dalam perang modern, informasi adalah senjata. Ia tak kalah strategis dibanding rudal hipersonik, atau bahkan senjata nuklir. Siapa yang menguasai informasi, menguasai opini publik. Dan siapa yang menguasai opini publik, mengendalikan legitimasi untuk menyerang, membalas, atau bahkan menyembunyikan luka.
Itulah mengapa, ketika Iran menghujani Israel dengan lebih dari 100 proyektil pada Jumat pekan lalu, dan sekitar 200 rudal lebih setelahnya (Sabtu dan Minggu), media-media barat hanya menyuguhkan narasi tentang keberhasilan pertahanan udara, bukan fakta tentang kehancuran.
Media-media arus utama Barat, seperti Reuters, WSJ, dan CBS News, lebih banyak menyoroti efektivitas sistem pertahanan Iron Dome Israel dalam mencegat rudal Iran, ketimbang kerusakan yang ditimbulkan Iran kepada pihak Israel. Media-media ini mengabarkan bahwa Israel mampu mempertahankan warganya dari kerusakan lebih besar. Bahkan, dalam beberapa berita, ada narasi bahwa kerugian sipil di Israel jauh lebih kecil dibanding Iran, berkat keunggulan teknologi Israel.
Benar, rudal-rudal Iran sebagian besar dicegat oleh sistem pertahanan berlapis Israel seperti Iron Dome, David’s Sling, dan Arrow. Tapi, apakah semuanya berhasil? Pemerintah Israel dan media Barat mengklaim tingkat intersepsi hingga 90%. Kita terima saja angka itu. Maka dari 300 rudal dan drone, sekitar 30 menembus sistem pertahanan. Bahkan jika kita gunakan angka konservatif—misalnya hanya 5% yang lolos—itu berarti ada 15 proyektil menghantam wilayah Israel.
Namun kemudian, kita diberi data bahwa hanya enam korban jiwa. Bahkan, di berita awal disebutkan hanya dua korban jiwa dari pihak Israel: satu tentara dan satu pekerja sipil. Itu pun, sipilnya bukan warga Israel. Tak ada laporan kehancuran besar, tak ada visual kerusakan, tak ada tangisan keluarga dari media-media tersebut—kecuali yang berkembang di media sosial, yang sebagian adalah hoaks.
Pertanyaannya, di mana dampak kerusakan dari 30 atau 15 rudal Iran itu? Benarkah 30 atau 15 proyektil aktif hanya menghasilkan dua atau enam korban jiwa? Ataukah kita sedang menyaksikan hasil akhir dari operasi penyuntingan informasi tingkat tinggi?
Di sinilah peran media menjadi sangat strategis. Dalam konflik bersenjata semacam ini, sensor tidak hanya dilakukan di markas militer, tetapi juga di ruang redaksi. Sepertinya ada ‘Iron Dome‘ lain yang beroperasi menangkis serangan rudal Iran—dan itu bukan di langit Israel, melainkan di ruang-ruang redaksi media massa Barat.

Dalam konteks ini, kamera media diposisikan untuk merekam versi yang diizinkan. Jurnalis diberi akses pada potongan, bukan keseluruhan. Narasi tentang “kemenangan sistem pertahanan” wajib disebarluaskan secara global, sementara luka disembunyikan dalam sunyi diplomatik.
Netralitas Semu
Dalam kajian ilmu komunikasi, media tidak pernah sepenuhnya netral. Teori hegemonic function of media dari Antonio Gramsci dan studi para pemikir Frankfurt School menunjukkan bahwa media berperan menjaga dominasi ideologi kelas penguasa, dengan membingkai wacana tertentu sebagai “normal” dan lainnya sebagai “tidak penting” (Gramsci, Selections from the Prison Notebooks, 1971).
Dalam konteks geopolitik, dominasi informasi oleh negara dan korporasi besar adalah bagian dari reproduksi kekuasaan global. Dalam konteks ini, media tak lagi menjadi agen kebenaran—alih-alih netral, media justru menjadi bagian dari pihak-pihak yang memiliki kepentingan dan ambisi ideologis.
Edward S. Herman dan Noam Chomsky, dalam Manufacturing Consent (1988), menyebut bahwa media arus utama bekerja dalam sistem “penyaringan informasi” oleh lima filter utama, termasuk kepemilikan korporasi dan ketergantungan pada sumber resmi pemerintah atau militer.
Dalam kerangka ini, media tidak secara eksplisit berbohong, atau bermaksud berbohong, tetapi aktif menyeleksi realitas demi membentuk persepsi yang menguntungkan pihak-pihak dominan. Maka, ketiadaan korban besar dalam pemberitaan serangan Iran ke Israel, bukanlah bukti keberhasilan teknologi, tetapi bisa jadi indikasi keberhasilan propaganda.
Fenomena ini menunjukkan bahwa media telah menjadi aktor aktif dalam perang persepsi. Dengan meminimalkan dampak serangan Iran, Israel mempertahankan posisi sebagai kekuatan “terancam tapi terkendali”, sekaligus menghindari eskalasi yang bisa menyeret NATO atau Amerika Serikat secara langsung. Di sisi lain, Iran mendapat cukup ruang untuk menunjukkan kapabilitas tanpa harus memicu perang terbuka.
Inilah wajah baru konflik bersenjata. Rudal mungkin meledak di udara, tapi kamera bisa menangkis empati dan mengubur fakta. Kita tak sedang menyaksikan realitas mentah, melainkan realitas yang sudah dimasak, disunting, dibingkai, dan disesuaikan dengan kebutuhan diplomasi, keamanan nasional, dan geopolitik dunia.
Maka, ketika darah tidak terlalu tampak dalam serangan Iran ke Israel Jumat malam dan setelahnya, jangan buru-buru percaya. Dalam situasi seperti ini, yang menang bukanlah pihak dengan daya tembak terbesar, melainkan yang paling piawai mengatur narasi. Jika Anda masih percaya bahwa dari 300 rudal hanya dua hingga enam orang tewas, mungkin Anda bukan sedang naif, tapi sedang berada di dalam teater besar bernama geopolitik.
📢 Ikuti Katasulsel.com di WhatsApp!
Dapatkan berita terpercaya dan update setiap hari langsung di ponsel Anda.
👉 Klik di sini & tekan Ikuti