Sobis dan Ancaman Generasi Masa Depan
Oleh: Zulkifli, S.I.P., M.Si (Dosen Prodi Antropologi Sosial Universitas Khairun)
Istilah sobis, atau penipuan online yang kini menjadi fenomena sosial di Kabupaten Sidenreng Rappang, bukanlah hal asing bagi masyarakat. Namun yang menjadi persoalan serius adalah bagaimana istilah ini tidak lagi dianggap tabu atau memalukan, melainkan sudah menjadi rahasia umum yang justru membungkam daya kritis masyarakat.
Fenomena ini telah berkembang ke tahap apatis yang cukup mengkhawatirkan. Masyarakat yang tidak terkait langsung dengan aktivitas sobis hanya membicarakannya di ranah privat, sementara mereka yang mengetahui lebih dalam atau bahkan terlibat dalam praktik ini mulai memaklumi dan menganggapnya sebagai sesuatu yang lumrah. Maka, pembahasan sobis pun kehilangan konteks moral, baik dari sudut pandang hukum negara, hukum adat, maupun hukum agama.
Faktor internal kelompok pelaku juga menjadi penguat keberlanjutan aktivitas sobis. Masyarakat tampaknya takut dimarginalisasi atau dikriminalisasi jika menentang atau melaporkannya. Di sisi lain, upaya pemerintah dan lembaga sosial yang berusaha menekan pertumbuhan aktivitas ini terkesan tidak efektif. Akibatnya, sobis mulai dipahami bahkan diterima sebagai bagian dari pekerjaan modern yang menjanjikan, terutama oleh kelompok usia muda dan pelajar.
Situasi ini mengindikasikan bahaya besar: generasi masa depan yang diharapkan menjadi pemegang tongkat estafet bangsa justru mulai terseret ke dalam arus pekerjaan pragmatis yang tidak bermoral ini.
Sejatinya, kekuatan hukum dan nilai keagamaan sudah mulai merespons. Salah satunya ialah Fatwa MUI Provinsi Sulawesi Selatan Nomor: 006 Tahun 2025, yang menegaskan bahwa sobis adalah haram dan bertentangan dengan ajaran Islam. Fatwa ini diterbitkan tak lama setelah tim gabungan dari Denintel Kodam XIV Hasanuddin menangkap 40 pelaku sobis di wilayah Pangkajene, Sidenreng Rappang, pada April 2025. Namun hingga kini, efek dari fatwa tersebut belum terasa.
Praktik sobis masih marak dan bahkan menyasar kalangan pelajar serta masyarakat sektor informal. Banyak yang tergiur karena pekerjaan ini tidak membutuhkan tenaga fisik, tidak perlu ijazah atau keterampilan formal, dan hasilnya instan.
Dalam konteks sosial keagamaan, ayat-ayat suci seperti dalam Surat An-Nisa ayat 29, Al-Baqarah ayat 188, serta ajaran luhur Nene’ Mallomo yang menekankan pentingnya kerja keras dan kejujuran pun mulai terabaikan. Nilai filosofis dari pepatah โreesopa temmangingngi namalomo naleteei pammase dewataโ tidak lagi membumi. Padahal, pepatah tersebut mengajarkan bahwa hanya dengan kerja keras dan keikhlasanlah rahmat Tuhan dapat diraih.

Di masa lalu, kejujuran menjadi harga mati. Seperti kisah La Pagala, penasehat kerajaan Sidenreng, yang rela menghukum mati putranya hanya karena memotong satu ranting pohon tanpa izin. Namun kini, pelaku sobis bisa tertangkap, menjalani proses hukum seadanya, lalu bebas dan mengulangi perbuatannya. Hukum sosial telah kalah oleh logika pragmatisme dan materialisme.
Dampak sobis tidak hanya menyasar individu korban, tetapi juga merambat ke keluarga dan komunitas sekitarnya. Banyak korban yang akhirnya terlilit utang, menggadaikan harta, atau bahkan mengalami gangguan mental akibat tekanan ekonomi dan sosial. Tidak sedikit pula yang mengalami kehancuran rumah tangga, retaknya hubungan kekeluargaan, hingga keputusan mengakhiri hidup. Mirisnya, para pelaku seakan menikmati hasil dari penderitaan orang lain. Jika ini dibiarkan, lantas bagaimana posisi kita sebagai manusia? Sebagai bangsa?
Bersambung…
๐ข Ikuti Katasulsel.com di WhatsApp!
Dapatkan berita terpercaya dan update setiap hari langsung di ponsel Anda.
๐ Klik di sini & tekan Ikuti