
Di republik yang gemar menyulap kekacauan menjadi kebiasaan, tak ada pos anggaran yang lebih fleksibel, lentur, dan penuh imajinasi dibandingkan Biaya Tak Terduga. dikalangan pejabat, ini biasa disingkat BTT.
Oleh: Edy Basri
BTT ini, seolah diciptakan untuk mereka yang malas merencanakan namun gemar berimprovisasi, menjadi lahan subur tumbuhnya kreativitas birokrasi yang nyaris tak terbendung. Kira-kira begitu yah?
Pada awalnya, BTT hadir dengan misi mulia: sebagai cadangan darurat untuk situasi luar biasa. Bencana alam, wabah penyakit, atau kejadian besar yang memang tak sempat diprediksi.
Tapi dalam praktiknya, apa yang disebut darurat kerap kali hanyalah hasil dari penundaan, keteledoran, atau kegemaran menunda yang dilegalkan.
Maka, jangan heran bila BTT digunakan untuk hal-hal āmendadakāātapi mendadaknya disengaja.
Rapat tak masuk agenda? Darurat.
Pejabat datang tanpa kabar? Darurat.
Laptop rusak sehari sebelum kegiatan? Tentu darurat.
Bahkan bila Kepala Dinas lupa beli tiket seminar nasional tapi sudah janji hadir, itu pun bisa menjadi darurat logistik. Semua darurat, asal niat.
Di ruang-ruang sunyi kantor pemerintah, ada semacam pemahaman tak tertulis: BTT adalah āanggaran ajaibā yang bisa menambal apa sajaātermasuk program fiktif yang disulap nyata hanya karena perintah datang di luar jam kerja.
Tak perlu musyawarah panjang, cukup notulen palsu dan surat pengantar bercap basah.
Dan betapa harmonisnya dunia birokrasi ini berjalanāhingga suatu hari, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) datang membawa berita buruk: temuan.
Temuan itu tidak mengejutkan, kecuali bagi mereka yang berpura-pura kaget.
Sudah terlalu sering kita dengar bahwa dana BTT digunakan tanpa dasar keadaan darurat yang sah, tanpa dokumen pendukung yang memadai, atau bahkan tanpa niat memperbaiki sistem penganggaran.
Dalam audit BPK terbaru, sekian miliar rupiah dana BTT ātak dapat dipertanggungjawabkan secara memadaiā. Sebagian digunakan untuk hal yang seharusnya direncanakan. Sisanya? Hilang bersama nota belanja dan stempel basah yang entah ke mana.
BPK dalam laporannya dengan sabar menulis:
ātidak sesuai peruntukan,ā ātidak berdasar justifikasi teknis,ā dan āberpotensi merugikan keuangan negara.ā
Bahasa yang sopan, namun sebenarnya berarti: kalian tahu itu salah, tapi kalian melakukannya juga.
Namun entah mengapa, kata ātemuan BPKā kini terdengar seperti diagnosis dokter untuk penyakit yang diderita bertahun-tahun. Pasiennya sudah kebal.
Jawaban klasik seperti “akan ditindaklanjuti”, “sudah dikembalikan”, dan “telah diperbaiki” seolah menjadi mantera yang menghapus dosaāpadahal sebagian besar hanyalah basa-basi administratif untuk menjaga agar laporan keuangan tetap berpredikat āWajar Dengan Pengecualianā.
Ironisnya, dalam dunia ini, yang ātak terdugaā bukanlah penggunaan anggarannya, tapi keberanian BPK untuk terus mencatatnya.
Maka kita kembali ke pertanyaan klasik:
Benarkah yang darurat adalah situasinya?
Atau yang sebenarnya darurat adalah moralitas dalam tata kelola anggaran?
Jika Biaya Tak Terduga terus digunakan untuk menambal kelalaian, menutup kekacauan yang dibuat sendiri, dan menyelamatkan muka para pemangku jabatan yang tak pernah salah di depan publikāmaka yang kita hadapi bukan sekadar kekeliruan administratif, melainkan patologi birokrasi yang sudah kronis.
Dan seperti penyakit kronis lainnya, kita mungkin tak merasa sakit… sampai auditor datang dengan stetoskop dan lampu sorotnya.
Selamat datang di negeri yang menguasai seni menggunakan uang tak terduga untuk hal-hal yang terlalu bisa didugaāakhirnya jadi temuan. (*)
Tidak ada komentar