Sabtu sore yang biasanya tenang di Kedai 17 di Makassar, mendadak bergelora. Bukan karena musisi jalanan atau promo kopi dua gratis satu, tapi lantaran satu sosok bersuara lantang: Djusman AR.
Oleh: Edy Basri
BUKAN nama asing di kancah antikorupsi Sulawesi Selatan. Kali ini, ia datang bukan hanya untuk menyuarakan keresahan, tapi juga mengetuk nalar kekuasaan.
Tak perlu panggung mewah atau undangan resmi dari gedung pemerintahan. Diskusi di kedai kopi justru menjadi panggung paling jujur.
Di situ, Djusman, Koordinator Badan Pekerja Komite Masyarakat Anti Korupsi (KMAK) Sulselbar dan motor penggerak FoKaL NGO Sulawesi, memanggil kesadaran kolektif: selamatkan aset daerah sebelum hilang entah ke mana.
“Pemerintah harus lebih proaktif dalam menjaga aset daerah,” tegasnya, tanpa basa-basi. Kalimat yang lebih terdengar seperti peringatan keras ketimbang saran biasa.
Djusman tidak sedang menggertak. Ia bicara soal fakta di lapangan—tentang aset-aset milik provinsi dan kabupaten/kota yang tak terurus, tanpa kepastian status hukum, bahkan ada yang diam-diam berpindah tangan. Tanah, bangunan, dan fasilitas publik yang mestinya menjadi fondasi pembangunan, justru rawan menjadi bancakan elite.
Ia menyebut satu aktor kunci yang kerap luput dilibatkan dalam pengelolaan aset: kejaksaan. Bukan untuk menakut-nakuti, tetapi sebagai lembaga negara yang punya instrumen hukum, legitimasi, dan—yang terpenting—posisi strategis dalam menjaga aset negara.
“Pemerintah daerah wajib menyurati kejaksaan, bukan hanya sebagai formalitas, tapi sebagai tanda bahwa mereka serius,” kata Djusman. Sebuah usul sederhana tapi berdampak besar, jika dijalankan tanpa basa-basi politik.
Menariknya, ia tak menyalahkan masa lalu. Justru Djusman membuka ruang koreksi: aset yang dikelola pemerintahan sebelumnya tetap perlu diaudit, bukan untuk mencari kambing hitam, tapi untuk mencegah kambing lainnya lepas kandang.
Narasi ini bukan lagi soal aset semata. Ini tentang kepercayaan publik. Ketika masyarakat melihat gedung sekolah dibiarkan mangkrak, atau tanah milik negara tiba-tiba berubah jadi kompleks perumahan, maka luka sosial itu tak bisa disembuhkan dengan baliho-baliho prestasi.
Dan dari Kedai 17 itulah, suara Djusman menggema. Ia tidak sedang bersenandung manis, tapi meniup peluit keras. Ia memaksa kita berpikir ulang: kalau aset saja tak mampu dijaga, bagaimana mungkin kita percaya pada janji pembangunan?
“Kami bukan mengawasi karena tidak percaya. Kami mengawasi agar tak semakin banyak yang harus kami ragukan,” tutupnya, dengan nada pelan namun menghujam.
Barangkali, beginilah bentuk cinta tanah air yang paling jujur: mengawal diam-diam, menegur terbuka, dan terus bicara meski ruangan mulai sunyi.
(*)
Tidak ada komentar