Foto ilustrasi
Gowa, Katasulsel.com — Dalam iklim pemerintahan yang semakin mendorong digitalisasi layanan publik, semestinya transparansi dan akses informasi menjadi lebih mudah dijangkau. Namun yang terjadi di Kecamatan Bontomarannu, Kabupaten Gowa, justru sebaliknya. Seorang perempuan yang tengah mengupayakan hak dasarnya, mendapati sistem yang tiba-tiba tertutup—dan diam.
Li (26), warga Gowa yang tengah hamil dan ditinggal oleh suaminya sejak Mei 2025, berusaha mendapatkan salinan resmi akta nikah yang tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA) Bontomarannu. Dokumen itu krusial, bukan hanya untuk kepentingan administrasi hukum, tetapi juga untuk kepastian statusnya sebagai istri sah dalam proses pelaporan kekerasan yang dialaminya.
“Awalnya nomor akta nikah kami terbaca di sistem online. Tapi begitu kami ingin unduh salinan resminya, datanya hilang. Seolah-olah disensor,” ungkap Li, yang saat itu didampingi oleh tim advokasi dari Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan Perempuan dan Anak (PUKAT) Sulawesi Selatan.
Tim PUKAT Sulsel yang mendampingi Li telah melakukan upaya formal mendatangi langsung kantor KUA Bontomarannu. Namun, menurut keterangan mereka, tidak ada penjelasan prosedural atau tertulis terkait penolakan pemberian salinan dokumen yang diminta.
“Kami justru menemui kebisuan. Tidak ada kejelasan mengapa data yang sebelumnya bisa diakses secara daring kini lenyap begitu saja. Padahal ini bukan rahasia negara. Ini hak pribadi seorang warga negara,” tegas Direktur PUKAT Sulsel, Farid Mamma, S.H., M.H.
Ia menilai tindakan tersebut berpotensi melanggar prinsip dasar keterbukaan informasi publik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008. Pasal 4 ayat (2) UU tersebut menyatakan, setiap warga negara berhak memperoleh informasi publik yang berkaitan dengan dirinya, baik dalam konteks administratif maupun hukum.
Lebih lanjut, data akta nikah yang dimaksud—yang mencantumkan nama pasangan, tanggal pernikahan, hingga nomor registrasi—semula sempat terverifikasi dan bisa dicari di portal daring. Namun, akses tersebut tiba-tiba lenyap tanpa pemberitahuan.
“Kalau memang ada dasar hukum untuk membatasi akses, seharusnya dijelaskan sejak awal. Bukan ditarik diam-diam setelah korban mencoba mengakses haknya. Ini menciptakan kecurigaan akan adanya intervensi sistem, atau bahkan persekongkolan,” ujar Farid.
Dalam kasus ini, PUKAT Sulsel menilai ada dugaan kuat bahwa sistem digital pada lembaga publik digunakan secara selektif, bahkan represif terhadap warga negara yang sedang dalam posisi rentan. Pihaknya mendorong Kementerian Agama Kabupaten Gowa maupun Kantor Wilayah Kemenag Sulsel untuk turun tangan melakukan audit menyeluruh terhadap sistem pengelolaan data pernikahan di tingkat kecamatan.
Jika tidak ada langkah korektif yang dilakukan dalam waktu dekat, PUKAT menyatakan siap mengajukan aduan resmi ke Ombudsman RI dan Komisi Informasi Pusat.
Kasus yang menimpa Li seolah menegaskan bahwa hambatan terhadap akses dokumen pribadi bukan sekadar persoalan teknis birokrasi. Ini adalah bentuk kekerasan administratif, ketika negara gagal hadir melindungi warganya yang tengah mencari keadilan—terutama perempuan dalam kondisi rentan.
“Negara jangan menjadi penghalang. Dalam situasi seperti ini, birokrasi seharusnya menjadi jembatan, bukan tembok,” pungkas Farid. (*)
Editor: Tipoe Sultan
Tidak ada komentar