Di Sidrap, batu tak lagi diam. Ia berbicara lewat bentuk, menyapa lewat sunyi sambil berusaha menemukan pemiliknya
Penulis: Edy Basri
Di atas meja-meja kayu, di bawah pohon yang teduh, tersaji ratusan batu dalam keheningan. Tak ada yang berteriak, tak ada yang memamerkan kilau.
Tapi dari diamnya, orang-orang datang—menatap, memotret, mengangguk, lalu mengagumi. Inilah suiseki: seni membaca bisikan alam dari bentuk batu.
Pameran suiseki pertama yang digelar Perkumpulan Penggemar Bonsai Indonesia (PPBI) Cabang Sidrap, menjadi bagian dari kontes bonsai yang digelar di Monumen Ganggawa, Pangkajene, Kecamatan Maritengngae.
Meski kerap jadi pelengkap sunyi di sudut taman, kali ini batu-batu itu mengambil panggungnya sendiri.
Sebanyak 100 batu dari berbagai penjuru dipamerkan. Namun satu benang merah menyatukan mereka: banyak dari batu itu berasal dari tanah Sidrap sendiri, seolah bumi ini tahu cara melahirkan keindahan yang tak perlu dipoles.
“Suiseki bukan soal batu yang kita bentuk. Tapi batu yang membentuk kita untuk lebih sabar melihat,” tutur Kuncoro, juri suiseki sekaligus humas PPBI Sidrap. Ia berbicara bukan seperti seorang penilai, melainkan seperti seseorang yang menemukan makna dalam kerikil jalan.
Penilaian suiseki pun terbilang unik. Bukan bentuk paling indah yang menang, tapi bentuk paling natural. Bukan batu paling mahal yang menarik perhatian, tapi yang paling jujur dengan dirinya sendiri. Dalam kontes ini, batu tak boleh pura-pura jadi sesuatu. Ia harus datang sebagaimana ia terbentuk oleh waktu, air, angin, dan tanah.
Beberapa batu menyerupai ibu hamil, pusaka, katak, hingga burung. Tapi itu bukan hasil ukiran. Justru jika ada campur tangan manusia yang terlalu banyak, nilai artistiknya merosot. Suiseki adalah seni membaca takdir batu, bukan menulis ulang kisahnya.
Ali Rahman, peserta dari luar Sidrap, mengakui bahwa batu dari daerah ini mulai mendapat tempat di kalangan pecinta suiseki nasional.
“Batu saya dari Sidrap pernah juara di Bali. Pernah juga ditawar lima puluh juta. Tapi bagi saya, ini bukan soal uang. Ada batu yang kamu cari, dan ada batu yang menemukanmu,” ujarnya sambil mengelus batu miliknya yang ia beri nama Doa Ibu.
Suiseki bisa jadi cermin. Dalam diamnya, manusia belajar bahwa tak semua yang diam itu mati, dan tak semua yang bergerak itu hidup.
Ada filosofi mendalam dalam bentuk-bentuk yang tak simetris. Dan dari batu yang sunyi, orang-orang Sidrap hari ini sedang belajar mendengar ulang suara alam—dari tanah yang selama ini mereka pijak.
Pameran ini berlangsung sejak 2 Agustus dan akan berakhir pada 9 Agustus. Namun bagi para pecinta suiseki, pameran hanyalah jeda kecil dari perjalanan panjang mencari makna di balik setiap gurat, celah, dan lekuk batu. Karena suiseki, pada akhirnya, bukan pameran batu. Ia adalah pameran kesabaran. (*)
Tidak ada komentar