Delapan puluh tahun. Angka yang manis untuk kue ulang tahun bangsa ini. Tapi, mari kita lihat jurnalisnya. Apakah mereka merdeka juga, atau cuma merdeka Wi-Fi?
Oleh: Edy Basri (Pemred Katasulsel.com)
Dulu, wartawan adalah pahlawan. Mereka berani menghadapi peluru, ancaman, bahkan hukum yang timpang, demi berita yang benar.
Mereka menulis di bawah lampu minyak atau mesin tik yang bunyinya seperti drum parade. Setiap kata adalah nyawa, setiap fakta adalah perjuangan.
Sekarang? Lampu minyak diganti LED. Mesin tik diganti laptop. Nyawa? Masih aman, kecuali mati karena lembur menunggu trending topic.
Berita heroik sering kalah dari foto kopi di kafe, caption: “Senin Pagi, Inspirasi & Latte.” Viral? Pasti. Berguna? Entahlah.
Jurnalis merdeka zaman sekarang mengukur keberanian dengan berapa banyak like, share, dan komentar.
Kritik tajam terhadap pemerintah? Bisa… asal pakai GIF lucu dan meme, agar “ramai tapi aman.”
Ada yang bilang: “Sekarang merdeka itu mudah. Bebas menulis apa saja, selama tidak viral.”
Tapi jangan salah, masih ada yang berani. Mereka menulis fakta pahit, menyoal kebijakan yang menyengsarakan rakyat. Mereka itu langka, seperti bunga raflesia di tengah kota beton.
Sementara mayoritas… ya, merdeka gaya. Merdeka filter Instagram, merdeka headline sensasional, merdeka klik, tapi nyaris lupa fakta.
Jadi, di ulang tahun ke-80 ini, kita patut memberi tepuk tangan. Tepuk tangan untuk jurnalis merdeka—merdeka klik, merdeka Wi-Fi, merdeka kopi di kafe.
Semoga di tahun-tahun mendatang, mereka menemukan kemerdekaan sejati: bebas menulis, bebas mengkritik, bebas menghadirkan kebenaran. Bukan cuma trending topic semu.
Karena bangsa yang merdeka membutuhkan jurnalis yang benar-benar merdeka. Bukan sekadar merdeka gaya, tapi merdeka hati, merdeka fakta, merdeka idealisme.
Dan, bila itu terjadi… barulah Indonesia benar-benar merdeka, bukan cuma angka 80 di kalender. (*)
Tidak ada komentar