Oleh: Edy Basri
Awalnya sederhana. Pemerintah melarang media sosial. Alasannya: terlalu banyak hoaks, terlalu liar, terlalu bebas.
Tapi, rakyat membaca itu dengan kacamata lain. Larangan media sosial dianggap simbol pembungkaman. Apalagi negeri itu masih segar dengan pengalaman panjang politik transisi: dari monarki ke republik, dari otoriter ke demokrasi.
Protes pun meletus. Dari isu kebebasan berekspresi, meluas ke isu korupsi. Itulah akar yang sebenarnya. Nepal sudah lama dirundung tuduhan pejabat memperkaya diri.
Maka, larangan media sosial hanya pemantik. Bensin sudah lama berceceran. Api cepat menyambar.
Lalu darah tumpah. 19 orang tewas pada hari-hari awal protes. Sejak itu, amarah tidak lagi bisa dikendalikan. Jalanan Kathmandu berubah menjadi medan perang kecil.
Ada adegan yang jarang terjadi: senjata aparat direbut massa. Senjata laras panjang, dipanggul oleh orang biasa. Foto-foto itu tersebar ke seluruh dunia. Menjadi bukti betapa negara bisa runtuh dalam hitungan hari.
Kemarin sore, angka korban bertambah: 22 orang meninggal, 500 luka-luka.
Nepal kini berada di persimpangan. Pemerintah kehilangan kendali. Rakyat kehilangan kepercayaan. Dunia internasional pun menggelengkan kepala: apa yang sebenarnya terjadi di negeri kecil di kaki Himalaya itu?
Kita pernah melihat ini. Di Timur Tengah, di Afrika, bahkan di Asia Tenggara. Awalnya selalu sama: sebuah larangan, sebuah represi, sebuah peluru. Akhirnya juga sama: ketidakpercayaan total.
Dunia sudah berubah. Menutup media sosial sama saja menutup satu-satunya ventilasi. Ketika ventilasi ditutup, rumah jadi sesak. Ketika sesak, penghuni memilih menghancurkan jendela.
Nepal sedang menghancurkan jendela itu. Dengan darah, dengan amarah, dengan senjata yang tadinya bukan milik mereka. (*)
Tidak ada komentar