Oleh: Edy Basri
Biasanya jalanan lengang. Malamnya cepat sepi.
Tapi mulai 13 September 2025, semuanya lain.
Tiga ribu santri akan datang. Dari berbagai pondok Muhammadiyah–Aisyiyah se-Sulsel.
Membawa hafalan. Membawa bahasa. Membawa semangat muda.
Sidrap, Bumi Nene Mallomo—yang biasanya tenang—akan jadi riuh.
Seperti pesantren besar yang tiba-tiba tumbuh di tengah kota.
Saya tahu siapa yang paling berdebar menunggu.
H. Syaharuddin Alrif.
Bupati Sidrap.
Ia tentu ingin Sidrap tampil sebagai tuan rumah yang baik.
Karena acara sebesar ini tidak bisa ditangani dengan spanduk, panggung, dan tenda saja.
Harus ada sinergi. Harus ada kolaborasi. Harus ada kesungguhan.
Saya suka kalimatnya:
“Ini bukan sekadar acara seremonial. Ini soal ruh keagamaan. Soal kebersamaan. Soal Sidrap yang ingin jadi tuan rumah yang baik.”
Kalimat pendek. Tapi dalam.
Saya membayangkan suasananya nanti.
Pembukaan di Masjid Agung Pangkajene.
Seminar nasional di Aula Iqra’ ITKes.
Groundbreaking gedung Muswil Muhammadiyah.
Wisuda Hifdzul Qur’an. Pawai kafilah.
Semuanya padat. Nyaris tanpa jeda.
Ada operet sejarah Muhammadiyah di Sidrap.
Ada lomba tilawah, syarhil, pidato, kaligrafi.
Ada atraksi Tapak Suci.
Dan ada satu acara yang akan jadi sorotan.
Pelantikan pendekar kehormatan Tapak Suci.
Saya tersenyum membaca daftar namanya:
Bupati Sidrap. Rektor UMS Rappang. Rektor ITKes. Direktur MBS Rappang. Direktur El Hasani Pangkajene.
Saya bayangkan Bupati Syahar berdiri di situ. Disematkan sabuk kehormatan.
Itu bukan sekadar seremoni.
Itu simbol.
Bahwa pemimpin Sidrap ini diakui. Bahwa ia tidak hanya mengurus angka-angka di ruang rapat. Tapi juga hadir di gelanggang keagamaan, di arena pembinaan moral.
Bersambung…..
Tidak ada komentar