Oleh: Edy Basri
Dua boleh jalan terus: sampah, dan usaha mikro. Dua lainnya—petani dan drainase—harus pulang dulu.
Pulang bukan berarti gagal. Pulang artinya ada PR. Ada pasal yang tidak nyambung. Ada kewenangan yang kelewat batas.
Ada Permen PUPR yang sudah bicara lebih dulu, soal drainase misalnya. Kalau dipaksakan, ranperda itu bisa dianggap sok kuasa.
Saya membayangkan wajah para pejabat Enrekang di ruang rapat Kanwil Kemenkumham Sulsel, Rabu siang itu. Semacam ujian proposal skripsi.
Dosen penguji kali ini: para perancang hukum. Kalau ada pasal yang melenceng, langsung dipotong.
Yang menarik justru dua ranperda yang lolos: sampah, dan UMKM. Dua kata yang dekat dengan hidup sehari-hari orang kampung maupun orang kota.
Sampah itu memang problem universal. Di mana pun, gunungan sampah bisa jadi simbol peradaban. Enrekang tidak mau hanya jadi penonton.
UMKM lebih penting lagi. Ia bicara tentang produk lokal yang sering kalah di pasar sendiri. Beras petani kalah oleh beras dari luar.
Kopi lokal kalah oleh kopi impor. Kalau ada ranperda yang bisa bikin rakyat kecil tersenyum, mungkin ini salah satunya.
Kepala Divisi P3H, Heny Widyawati, mengingatkan hal mendasar: sejak ada UU Nomor 13 Tahun 2022, semua ranperda wajib harmonisasi.
Istilahnya: harus diselaraskan dulu. Jangan sampai lebih rendah berani menantang aturan yang lebih tinggi.
Kakanwil Kemenkumham Sulsel, Andi Basmal, bahkan memberi apresiasi—menyebut Makassar yang rajin melibatkan tim perancang. Alasannya sederhana: jangan sampai rakyat bingung. Jangan sampai regulasi bertabrakan.
Saya jadi ingat pepatah lama: hukum itu bukan untuk mempersulit, tapi untuk mempermudah hidup. Ironisnya, untuk sampai ke sana, justru butuh jalan panjang.
Bersambung…
Tidak ada komentar