Kendari, Katasulsel.com – Senin (25/9/2025) menjadi hari yang menandai retaknya hubungan antara mahasiswa dan lembaga perwakilan rakyat di Sulawesi Tenggara. Ratusan massa Cipayung Plus Kota Kendari—gabungan GMNI, IMM, PMKRI, KHMDI, GMKI, KAMMI, hingga HMI MPO—memadati halaman kantor DPRD Sultra. Mereka datang bukan sekadar menyampaikan aspirasi, melainkan menggugat legitimasi politik Ketua DPRD Sultra, Laode Tariala.
Dari pengeras suara, suara lantang Ketua LMND Kendari, Jordy, mengiris udara. Ia mengingatkan publik bahwa aksi ini adalah kelanjutan dari demonstrasi 1 September 2025 lalu. Saat itu, Ketua DPRD berjanji akan membawa formulasi tuntutan mahasiswa ke Senayan. Namun, janji yang ditunggu tak kunjung ditepati. “Ketua DPRD telah menghindar, bahkan membohongi Cipayung Plus.”
Kemarahan pun membesar. Ban bekas dibakar. Asap hitam mengepul, menutup pandangan mata terhadap gedung megah yang ironisnya kini nyaris ikut terbakar oleh rasa frustrasi rakyat muda.
Ketua GMNI Kendari, Rasmin Jaya, tidak menutupi lagi sikapnya. “Kami sudah kehilangan kepercayaan. DPRD Sultra hanya simbol kekuasaan, bukan representasi rakyat.” Desakannya jelas: evaluasi kepemimpinan Laode Tariala tak bisa lagi ditunda.
Sementara itu, Fandi dari PMKRI melihat kondisi ini sebagai bukti bahwa DPRD Sultra tersandera oleh kenyamanan politik. Tidak ada transparansi, tidak ada pelaporan ke publik, tidak ada langkah konkret untuk memperjuangkan tuntutan mahasiswa. “Yang ada hanyalah penghindaran dan pengkhianatan terhadap mandat rakyat,” tegasnya.
Ketika ruang komunikasi ditutup rapat, mahasiswa memilih membuka pintu dengan caranya sendiri. Mereka menerobos ruang paripurna, duduk di kursi para legislator, lalu menggelar paripurna alternatif—sebuah sindiran keras bahwa demokrasi yang dijalankan DPRD telah kehilangan jiwa.
Peristiwa ini memperlihatkan lebih dari sekadar aksi jalanan. Ia adalah tanda serius bahwa DPRD Sultra kian rapuh dalam menjalankan fungsi representatifnya. Legitimasi politik bukan lagi soal kursi dan jabatan, melainkan soal keberanian menepati janji di hadapan rakyat.
Hari itu, kantor DPRD Sultra tidak benar-benar terbakar oleh api ban. Yang terbakar adalah sisa-sisa kepercayaan publik, yang bila dibiarkan, bisa menjalar jauh melampaui pagar gedung perwakilan rakyat. (*)
Editor: Tipue Sultan
Tidak ada komentar