Laporan: Asridal – Barru
Namanya Hj. Basiah. Umurnya 63 tahun. Sehari-hari, ia menjual barang di sebuah ruko sederhana. Orang-orang mengenalnya pekerja keras, jarang libur, bahkan di usia senja.
Semua bermula dari bau. Sore hari, tetangga curiga. Bau menyengat merembes keluar dari celah pintu toko. Mereka panik. Mereka menghubungi Firdaus, anak kandung Hj. Basiah, yang kebetulan sedang di Makassar.
Firdaus langsung berangkat. Tengah malam ia tiba. Toko terkunci. Gembok dipotong. Dan di balik pintu… ibunya terbaring kaku, sendirian, di depan etalase yang seharusnya dipenuhi dagangan.
Tidak ada isak tangis keras waktu itu. Hanya keheningan. Hanya tubuh seorang ibu yang tak lagi bergerak.
Darla, anak lainnya, datang pukul empat subuh. Barulah tangis pecah. Tangis yang membelah sepi Pasar Sentral.
Polisi datang. Garis kuning dipasang. Warga berdatangan. Malam yang seharusnya sepi jadi arena ramai orang ingin tahu.
Sampai pagi, semua masih tanya-tanya: kenapa? apa yang terjadi? Polisi belum bicara. Hanya memastikan jenazah sudah dievakuasi.
Ada sesuatu yang getir dari peristiwa ini. Hidup seorang pedagang berakhir di dalam tokonya sendiri. Tempat yang setiap hari menjadi sumber kehidupan, justru menjadi saksi kematian.
Hj. Basiah menutup hidupnya bukan di ranjang rumah, bukan pula di pangkuan anak cucunya. Tapi di lantai dingin toko, sendirian.
Dan Barru akan terus mengingat malam itu: malam ketika Pasar Sentral mendadak jadi panggung duka.(*)
Tidak ada komentar