Penulis: Syamsuddin Saleng
Biasanya, ruang publik Pemkab Sidrap hanya dipenuhi rapat rutin. Agenda teknis. Protokol. Laporan staf.
Tapi hari itu berbeda. Suasananya terasa lain.
Saya merasa, ruang itu mendadak jadi panggung besar.
Ada Bupati Sidrap, H. Syaharuddin Alrif, S.I.P., M.M. Dan ada pula Rektor Universitas Hasanuddin, Prof. Dr. Ir. Jamaluddin Jompa, M.Sc, yang akrab disapa Prof. JJ.
Jangan buru-buru mengira ini hanya kunjungan biasa. Tidak.
Menurut saya, itu pertemuan gagasan. Pertemuan yang justru bisa menentukan arah masa depan Sidrap—bahkan Indonesia.
Syaharuddin, atau SAR begitu ia kerap dipanggil, langsung menembak ke inti. Ia ingin Sidrap tidak lagi sekadar puas dengan gelar lama: lumbung padi Sulawesi Selatan.
“Sidrap harus jadi motor swasembada pangan nasional,” tegasnya.
Ambisi? Ya. Tapi juga realistis. Sebab Sidrap punya semua syarat: tanah subur, tradisi bertani, dan semangat rakyatnya.
Yang kurang? Teknologi. Inovasi. Dan tentu saja SDM yang kuat.
Di situlah peran Prof. Jamaluddin Jompa ditunggu. SAR menantang langsung: Unhas jangan hanya kuat di teori, tetapi harus hadir dalam bentuk pendidikan vokasi yang konkret.
Kenapa vokasi? Karena dari sanalah lahir tenaga-tenaga muda yang siap kerja. Yang langsung bisa mengoperasikan teknologi pertanian. Yang siap menggerakkan peternakan modern.
“SDM penggerak teknologi pertanian dan peternakan harus kita siapkan sejak sekarang,” kata SAR. Kalimatnya sederhana. Tapi nadanya tegas.
Prof. JJ, sang rektor, mendengarkan dengan seksama. Semua ia simak betul. Saya membayangkan dalam benaknya sedang berputar skenario: bagaimana kampus sebesar Unhas bisa turun lebih dalam ke Sidrap. Bagaimana riset tidak berhenti di laboratorium, tapi sampai ke sawah. Sampai ke kandang.
Pertemuan itu berubah wajah. Dari awalnya sekadar kunjungan formal, menjadi diskusi strategis. Ada momen cair, ada pula yang serius. Tetapi arahnya sama: Sidrap akan maju, dan Indonesia ikut terbawa.
Saya melihat ini tipe pertemuan yang jarang. Dua orang berbeda dunia—satu birokrat, satu akademisi—bertemu di titik yang sama: swasembada pangan.
Momentum ini terasa unik. Sidrap sedang bicara lebih besar dari dirinya sendiri. Unhas pun sedang menatap lebih jauh dari menara gadingnya.
Syaharuddin Alrif dan Jamaluddin Jompa mungkin berbeda jalur. Namun hari itu, keduanya seakan sepakat menulis satu kalimat yang sama: Sidrap bisa. Sidrap harus. Sidrap akan.
Dan siapa tahu, dari ruang publik kecil di Sidrap itulah sejarah baru kemandirian pangan nasional sedang dimulai. (*)
Tidak ada komentar