Penulis: Wahyu Widodo – Jakarta
Tapi ketika publik mengenalnya sebagai Camel Petir, semua kesan lembut itu seolah dibalikkan oleh energi yang meledak, oleh suara yang tajam, dan oleh keberanian yang tak banyak dimiliki perempuan di panggung selebriti maupun di ruang sosial-politik negeri ini.
Camel tidak pernah benar-benar berusaha menjadi sosok yang disukai semua orang. Ia lebih memilih menjadi pribadi yang didengar.
Sejak awal kemunculannya di dunia hiburan, ia tampil dengan gaya yang berbeda—tegas, terbuka, dan berani menentang arus. Ia tahu bahwa di dunia yang gemar menilai perempuan dari penampilan, menjadi vokal adalah risiko. Tapi ia tak peduli. Baginya, diam justru dosa.
Dalam setiap langkahnya, Camel memadukan dua dunia yang jarang bersinggungan: dunia seni dan dunia advokasi sosial.
Di satu sisi, ia seorang artis yang tahu bagaimana menyentuh perasaan publik lewat musik dan performa panggung. Di sisi lain, ia adalah aktivis yang mengerti bagaimana suara bisa menjadi alat perjuangan—bukan sekadar hiburan.
Ia turun langsung ke masyarakat, berbicara tentang kesetaraan, tentang keberanian perempuan, dan tentang pentingnya berpikir kritis di tengah derasnya opini publik yang sering hanya ikut-ikutan.
Namun, di balik ketegasan dan gaya bicara yang terkadang meledak-ledak itu, Camel menyimpan sisi reflektif yang tak banyak diketahui orang.
Ia bukan hanya bersuara keras, tetapi juga berpikir dalam. Ia membaca banyak hal, mendengarkan banyak cerita, dan menyerap pengalaman hidup orang lain seolah sedang menulis buku besar tentang realitas sosial Indonesia.
Mungkin itulah sebabnya, setiap kalimat yang keluar dari mulutnya terasa punya bobot — bukan asal bicara, tapi hasil perenungan dari perjalanan yang panjang dan tidak selalu mudah.
Perjalanan hidup Camel Petir memang tak selalu mulus. Ia pernah disalahpahami, disorot, dan dijadikan bahan perdebatan.
Tapi justru dari situ, karakter sejatinya tumbuh. Ia belajar bahwa sorotan publik bukan sesuatu yang perlu dihindari, melainkan dimanfaatkan untuk menyampaikan pesan yang lebih besar.
Ia percaya bahwa menjadi publik figur berarti memikul tanggung jawab moral—untuk berbicara bagi mereka yang tak punya panggung, untuk menggugat ketika banyak orang memilih diam.
Kini, Camelia Panduwinata Lubis bukan sekadar nama di daftar panjang artis Indonesia. Ia telah menjelma menjadi simbol perempuan yang menolak dibatasi, yang membuktikan bahwa keanggunan dan keberanian bisa berjalan berdampingan.
Ia menunjukkan bahwa perempuan tidak selalu harus lembut untuk dihormati—kadang justru suara yang paling keraslah yang membuka jalan bagi perubahan.
Mungkin itulah mengapa Camel Petir tetap berdiri tegak di tengah riuhnya opini publik: karena ia tahu, petir yang sejati tidak sekadar menggelegar sesaat.
Ia menyala — menerangi langit yang gelap, meski hanya sekejap, tapi cukup untuk membuat banyak orang menengadah dan sadar: ada perempuan yang sedang menyalakan cahaya dari dalam dirinya sendiri. (*)
Tidak ada komentar