Kembalinya Ruang Belajar di Pesisir Paotere, Makassar
Oleh: Edy Basri
Ada sebuah pagi di Paotere, Makassar yang tak pernah benar-benar sunyi. Pelabuhan tua itu selalu punya suara sendiri: dengus mesin perahu, teriakan para buruh, hembusan angin asin yang kadang membawa aroma laut, kadang membawa sesuatu yang sulit dijelaskan—semacam rasa getir kehidupan yang terus bergerak, tak peduli siapa yang tertinggal dan siapa yang sedang mencoba bangkit.
Di salah satu sudut pelabuhan yang tak banyak disinggahi pejalan kota, berdirilah sebuah ruangan yang dulu nyaris tak lagi diingat: Sekolah Pesisir Paotere. Bangunan sederhana itu pernah hidup, lalu meredup perlahan, seperti lampu minyak yang dibiarkan kehabisan sumbu. Anak-anak masih datang, tapi tidak rutin. Relawan sempat hadir, tapi tak bertahan. Dan ketika pelan-pelan semua berhenti, sekolah itu seperti hanya menunggu waktu untuk benar-benar hilang dari ingatan.
Namun segala sesuatu, bahkan yang tampak hampir mati, bisa saja hidup kembali ketika disentuh oleh niat yang tulus.
Komunitas Etno Adventure datang bukan sebagai penyelamat, melainkan sebagai sekelompok anak muda yang percaya bahwa setiap tempat selalu punya kemungkinan baru. Mereka melihat ruangan yang kosong, melihat karpet yang tak ada, meja yang tak ada, kurikulum yang tidak berjalan, tapi mereka juga melihat sesuatu yang lebih penting: anak-anak yang masih mau datang. Anak-anak yang, meski duduk di lantai berdebu, tetap menatap ke depan dengan harapan yang tidak pernah mereka ucapkan secara langsung.
Program yang mereka bawa kemudian diberi nama ETNOMAGGURU—sebuah gagasan untuk menghidupkan pembelajaran berbasis nilai, budaya, karakter, dan keberlanjutan. Bukan program proyek yang selesai dalam sebulan, tetapi upaya panjang agar sekolah itu tidak sekadar aktif kembali, melainkan benar-benar menjadi ruang yang nyaman bagi anak-anak yang bertumbuh di pesisir.
Di awal kedatangan mereka, ada rasa kikuk. Ada jemari kecil yang menahan buku karena belum terbiasa memegangnya. Ada tawa yang pelan, seperti menunggu izin untuk lebih keras. Ada mata yang bertanya-tanya apakah orang-orang baru ini akan tinggal cukup lama atau akan pergi seperti banyak orang dewasa yang singgah sebentar lalu menghilang.

Namun hari berganti, dan kebiasaan baru mulai tumbuh perlahan.
Etno Adventure membawa kurikulum sederhana namun terencana. Mereka menghadirkan kelas penguatan karakter, kebiasaan hidup bersih, dasar Bahasa Inggris, edukasi budaya lokal, hingga pengenalan anti-bullying. Mereka datang bukan hanya untuk mengajar, melainkan untuk menemani. Untuk mendengarkan. Untuk memahami bagaimana kehidupan pesisir membentuk cara pikir dan mimpi anak-anak Paotere.
Tak butuh waktu lama hingga sekitar lima puluh anak berkumpul kembali. Lima puluh wajah kecil yang mulai percaya bahwa sekolah itu bukan lagi ruangan kosong.
Nurung—perempuan yang selama ini menjaga keberadaan Sekolah Pesisir meski dalam keadaan seadanya—adalah saksi perubahan paling nyata. Di tangannya, sekolah itu pernah bertahan hanya dengan tekad. Kadang ia mengajar sendirian. Kadang ia hanya membuka pintu dan menunggu anak-anak datang tanpa tahu harus mulai dari mana. Ia tidak punya karpet. Tidak punya meja. Tidak punya kurikulum. Tapi ia punya keinginan yang keras untuk membuat anak-anak tetap belajar.
Ketika Etno Adventure datang, yang pertama kali terlihat di wajahnya adalah kelegaan yang tak bisa disembunyikan. Ruang yang dulu seadanya perlahan berubah. Ada karpet. Ada meja lipat. Ada peralatan belajar. Ada kelas yang berjalan dengan jadwal. Ada pengelolaan data siswa. Ada sistem yang menjadi pegangan. Ada tenaga sukarelawan yang datang bukan hanya bermodal niat, tetapi juga komitmen.
“Sekolah ini dulu tidak aktif,” ucapnya suatu sore dengan suara yang nyaris bergetar, “tidak ada meja, tidak ada karpet, dan anak-anak belajar seadanya. Setelah Etno Adventure datang, sekolah ini kembali hidup. Anak-anak semangat belajar lagi. Fasilitasnya juga mulai diperbaiki. Kami sangat bersyukur.”
Kata “hidup” yang ia sebutkan sungguh terasa berbeda. Sekolah itu tidak hanya buka kembali. Ia bernapas kembali.
Karyawan Paragon Makassar ikut terlibat sebagai pendamping, mentor, dan relawan. Mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi datang silih berganti, membawa gaya mengajar mereka masing-masing: ada yang ceria, ada yang tenang, ada yang sangat sabar. Semuanya bergabung menjadi bagian dari ekosistem yang mulai menemukan ritme barunya.
Ahmad Yusuf Suandi, pendiri Etno Adventure, selalu mengingatkan bahwa pendidikan di wilayah pesisir tidak boleh hanya berhenti pada mengajar. Ada hal lain yang lebih dalam: kepercayaan diri anak-anak. Keberanian mereka untuk bermimpi. Kemampuan mereka melihat dunia di luar perahu-perahu tua yang setiap hari mereka lihat.
“Dukungan dari banyak pihak membuat program ini lebih kuat dan lebih berdampak,” ungkapnya suatu pagi. “Kami berharap kolaborasi seperti ini bisa terus berjalan demi anak-anak pesisir.”
Ia selalu mengatakan itu sambil tersenyum, tetapi siapa pun tahu bahwa membangun keberlanjutan di wilayah pesisir tidak pernah semudah mengucapkannya.
Namun usaha harus tetap jalan.
Etno Adventure menata database siswa, menata akun media sosial untuk sekolah, menata kurikulum, membimbing pengelola agar kelak setelah program selesai, sekolah itu tetap hidup. Bukan hidup karena bantuan, tetapi hidup karena mampu berdiri sendiri.
Bersambung…
Tidak ada komentar