Sabtu, 20 Des 2025

Akrobat Logika, Risiko Hukum, dan Bom Politik di Balik Polemik Sewa Lahan Pemkab Lutim–IHIP

Katasulsel.com
20 Des 2025 10:42
Opini 0 51
3 menit membaca

Oleh: Asri Tadda
Direktur The Sawerigading Institute (TSI)

DALAM polemik penyewaan lahan Pemkab Luwu Timur kepada PT Indonesia Huali Industrial Park (IHIP), publik tidak sekadar sedang menyaksikan perdebatan administratif. Yang sedang dipertaruhkan adalah kejujuran logika kebijakan, kepatuhan hukum, dan stabilitas politik lokal.

Angka Rp4,5 miliar terus direproduksi sebagai “nilai kontrak” seolah-olah itulah keseluruhan kesepakatan. Padahal, fakta yang tidak terbantahkan adalah bahwa Rp4,5 miliar tersebut hanya berlaku untuk lima tahun pertama dari total masa sewa selama 50 tahun. Mengabaikan durasi ini sama saja dengan mengaburkan substansi kontrak.

Secara matematis sederhana, nilai kontrak minimum atas lahan Pemkab kepada IHIP adalah Rp45 miliar. Secara hukum perjanjian, Rp4,5 miliar itu adalah uang muka (down payment/DP), pembayaran awal setelah akad ditandatangani, bukan nilai transaksi keseluruhan. Maka ketika angka Rp4,5 miliar dijadikan dalih untuk menghindari persetujuan DPRD, yang terjadi sesungguhnya adalah akrobat logika yang mereduksi realitas kontrak demi pembenaran kebijakan.

Banner Promosi WiFi

Masalahnya, kesalahan logika ini tidak berhenti sebagai kekeliruan akademik. Ia memiliki konsekuensi hukum yang nyata.

Dalam perspektif hukum administrasi dan pengelolaan aset daerah, keputusan yang diambil tanpa memenuhi syarat prosedural—termasuk keterlibatan DPRD—berpotensi cacat formil.

Konsekuensinya jelas, dimana keputusan tersebut dapat diuji, dibatalkan, atau dipersoalkan secara hukum, baik melalui mekanisme pengawasan internal negara maupun jalur hukum lainnya.

Lebih jauh, jika kelak ditemukan bahwa pemisahan nilai kontrak dilakukan secara sadar untuk menghindari mekanisme persetujuan DPRD, maka isu ini tidak lagi berhenti pada kelalaian administratif. Ia berpotensi berkembang menjadi persoalan penyalahgunaan kewenangan, terutama jika berdampak pada kerugian daerah atau menghilangkan hak pengawasan lembaga legislatif.

Di titik ini, risiko tidak hanya berada di wilayah hukum, tetapi juga politik.

Mengabaikan DPRD dalam kerja sama aset strategis berarti membuka ruang konflik terbuka antara eksekutif dan legislatif daerah. DPRD memiliki hak interpelasi, hak angket, hingga hak menyatakan pendapat.

Jika hak-hak ini digunakan, maka polemik sewa lahan ini bisa bertransformasi dari isu kebijakan menjadi krisis politik lokal. Dan bukan tak mungkin, potensi krisis politik ini mengalami eskalasi hingga ke tingkat regional, bahkan nasional sekalipun.

Belum lagi risiko sosial yang kerap mengikuti proyek berdurasi panjang. Kontrak 50 tahun bukan kontrak satu periode kepemimpinan. Ia akan diwariskan lintas rezim.

Jika sejak awal kontrak ini berdiri di atas fondasi prosedural yang rapuh, maka potensi gugatan masyarakat, protes sosial, hingga resistensi politik di masa depan hampir tak terelakkan.

Ironi terbesar muncul ketika kita mengingat bahwa proyek kawasan industri yang bakal dijalankan PT IHIP adalah Proyek Strategis Nasional (PSN). Negara secara resmi telah memberi label “strategis”. Maka menjadi janggal—bahkan berbahaya—ketika pemerintah daerah justru berargumen sebaliknya demi menghindari mekanisme persetujuan DPRD.

Jika proyek PSN saja dapat diperlakukan seolah tidak strategis, maka publik wajar bertanya-tanya. Apakah label strategis hanya dipakai untuk mempermudah perizinan, tetapi dihindari ketika mulai menyentuh kewajiban akuntabilitas dan transparansi?

DPRD dalam konteks ini bukanlah ancaman investasi. Justru sebaliknya, DPRD seharusnya menjadi tameng politik dan hukum bagi pemerintah daerah agar keputusan besar tidak berubah menjadi beban hukum di kemudian hari. Mengeliminasi DPRD dari proses justru membuat pemerintah berdiri sendirian di hadapan risiko.

Sejarah pemerintahan daerah di Indonesia penuh dengan contoh proyek besar yang tampak mulus di awal, namun runtuh di tengah jalan karena cacat prosedural yang sejak awal dianggap sepele. Sewa lahan Luwu Timur berpotensi mengulangi pola yang sama jika tidak segera dikoreksi.

Karena itu, polemik ini tidak boleh direduksi menjadi sekadar debat angka Rp4,5 miliar. Yang dipertaruhkan adalah legitimasi keputusan, keselamatan hukum pejabat publik, dan stabilitas politik daerah.

Dalam pengelolaan aset publik, menghindari DPRD mungkin terasa praktis hari ini. Namun dalam politik dan hukum, jalan pintas hampir selalu berubah menjadi jalan buntu. Dan ketika itu terjadi, yang menanggung akibatnya bukan hanya pemerintah, tetapi masyarakat Luwu Timur sendiri. (*)

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Media Portal Berita Berbadan Hukum

PT WEPRO DIGITAL INDONESIA
Kemenkum HAM RI
No. AHU-0190238.AH.01.11,

Nomor Induk Berusaha: 0809240015028,
Rekening Perusahaan No: 120-003-000013438-6 (Bank Sulselbar)

Jl. Ganggawa No. 149 Tellu Limpoe, Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan. Phone: +62 823 4898 1986

Email:
katasulsel@mail.com (Redaksi)
katasulsel@mail.com ( Marketing )
katasulsel@mail.com ( Kerjasama )