Senin, 22 Des 2025

(Opini) Di Wajo, Saya Tegaskan, Rilis Bukan Produk Jurnalistik

Katasulsel.com
22 Des 2025 12:15
Opini 0 73
6 menit membaca

Mari kita mulai dari satu kalimat yang sering membuat suasana jadi tidak enak di ruang redaksi: “Ini rilis, Pak. Tolong naikkan.”

Oleh: Edy Basri
Pemred Katasulsel.com

Kalimat itu pendek, sopan, dan terdengar biasa saja.

Tapi, bagi orang yang lama hidup di dunia redaksi, kalimat itu punya gema panjang. Ia bukan sebatas permintaan, melainkan sebuah asumsi. Asumsi bahwa rilis adalah berita. Asumsi bahwa media memang bertugas memuatnya. Asumsi bahwa kerja jurnalistik bisa diselesaikan dengan satu lampiran email.

Banner Promosi WiFi

Padahal, sejak kapan jurnalisme bekerja dengan sistem titip tayang?

Perlu ditegaskan sejak awal, tanpa basa-basi dan tanpa kalimat yang berputar-putar: rilis bukan produk jurnalistik. Ia adalah produk komunikasi. Titik.

Rilis ditulis oleh humas, staf kehumasan, atau pihak yang punya kepentingan langsung terhadap pesan yang ingin disampaikan. Tujuannya tunggal: menampilkan versi terbaik tentang diri mereka sendiri. Tidak ada kewajiban untuk kritis. Tidak ada keharusan untuk berimbang. Tidak ada tuntutan untuk menampilkan sisi lain dari cerita. Yang ada hanyalah kepentingan citra.

Karena itu, rilis hampir selalu terasa rapi. Kalimatnya positif. Diksinya aman. Angkanya meningkat. Programnya sukses. Kegiatannya berjalan lancar. Masalah, jika pun disebut, selalu kecil dan sudah diatasi. Dunia dalam rilis adalah dunia tanpa cela. Dunia yang, kalau kita jujur, jarang benar-benar ada di lapangan.

Masalah serius mulai muncul ketika rilis diperlakukan sebagai berita. Lebih parah lagi, ketika rilis diminta naik utuh, tanpa edit, tanpa konfirmasi, tanpa sentuhan jurnalistik apa pun. Di titik inilah media perlahan bergeser peran. Dari institusi jurnalistik menjadi papan pengumuman. Dari pengawas kekuasaan menjadi perpanjangan tangan pesan.

Ironisnya, situasi ini sering menimbulkan drama kecil. Ada yang marah ketika rilisnya tidak dimuat. Ada yang tersinggung karena rilisnya dipotong. Ada yang kecewa karena judulnya diubah. Bahkan ada yang merasa dizalimi karena rilisnya tidak diberi label “berita”.

Padahal, kalau mau jujur sejak awal, yang dikirim memang bukan berita.

Berita lahir dari proses. Ada liputan. Ada verifikasi. Ada konfirmasi. Ada keberanian untuk bertanya, “benarkah demikian?” Ada kesediaan mendengar versi lain, termasuk versi yang mungkin tidak nyaman bagi narasumber utama. Berita tidak ditulis untuk menyenangkan siapa pun. Apalagi untuk memoles pencitraan. Berita bekerja untuk publik, bukan untuk pemesan.

Di sinilah garis batas itu seharusnya jelas. Tapi dalam praktiknya, batas ini sering kabur. Terutama di era digital, ketika kecepatan dijadikan standar, dan kuantitas dijadikan ukuran produktivitas.

Kita hidup di masa ketika berita berlomba-lomba tayang dalam hitungan menit. Siapa cepat, dia menang. Siapa terlambat, dianggap kalah. Media sosial ikut mempercepat ritme ini. Publik disuguhi informasi tanpa henti. Dalam situasi seperti ini, rilis menjadi sangat menggoda. Ia siap pakai. Ia cepat. Ia tidak menuntut banyak usaha.

Dan di situlah jebakan terbesar bagi jurnalis modern.

Ketika rilis dijadikan jalan pintas, jurnalis perlahan kehilangan nalurinya. Reporter menjadi pasif. Redaksi menjadi reaktif. Media berhenti mencari, dan mulai menunggu. Bukan menunggu fakta, tapi menunggu rilis berikutnya.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Media Portal Berita Berbadan Hukum

PT WEPRO DIGITAL INDONESIA
Kemenkum HAM RI
No. AHU-0190238.AH.01.11,

Nomor Induk Berusaha: 0809240015028,
Rekening Perusahaan No: 120-003-000013438-6 (Bank Sulselbar)

Jl. Ganggawa No. 149 Tellu Limpoe, Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan. Phone: +62 823 4898 1986

Email:
katasulsel@mail.com (Redaksi)
katasulsel@mail.com ( Marketing )
katasulsel@mail.com ( Kerjasama )