Kapolres Sidrap AKBP Dr Fantry Taherong SH SIK MH 
Penulis: Edy Basri
Hujan memang sudah reda ketika kami meninggalkan Kota Sidenreng Rappang (Sidrap) pagi itu. Tapi jejaknya masih tertinggal di mana-mana.
Awan kelabu menggantung rendah di pegunungan Pitu Riase. Udara lembap. Tanah basah. Dan jalanan—seperti biasa di daerah rawan longsor—tak pernah benar-benar ramah.
Perjalanan menuju Desa Leppangeng bukan perjalanan biasa. Ini bukan liputan seremoni, bukan pula agenda simbolik. Ini perjalanan yang menguji kesabaran, stamina, dan—yang paling penting—ketulusan niat.
Di dalam rombongan itu ada Kapolres Sidrap, AKBP Dr. Fantry Taherong.
Ia duduk di mobil dinas tanpa pengawalan berlebihan. Tak ada pengawalan atau protokoler yang ribet. Mobil berjalan pelan, sesekali berhenti. Kadang harus mengalah, memberi jalan kepada sepeda motor warga yang membawa hasil kebun. Kadang harus berhenti total karena roda depan terjebak lumpur.
“Kalau mobil tidak bisa lanjut, kita jalan kaki,” ucap Fantry singkat.
Dan itulah yang terjadi.
Sekitar tiga jam perjalanan ditempuh untuk mencapai Dusun IV Galung, salah satu titik terparah terdampak longsor di Desa Leppangeng, Kecamatan Pitu Riase. Jalan yang kami lalui bukan jalan yang sering masuk proposal pembangunan. Terlalu jauh. Terlalu sepi. Terlalu tidak menjanjikan secara politik.
Di kiri kanan, tebing-tebing tanah merah tampak seperti luka terbuka. Beberapa titik longsor masih menyisakan material tanah dan batu yang menutup badan jalan. Di satu titik, longsoran bahkan menyisakan jurang kecil yang membuat siapa pun harus menahan napas saat melintas.
Tidak ada komentar