Di Sengkang-Wajo, Dari Ulat Menjadi Kain yang Indah
Oleh: Edy Basri
Bukan oleh jarum jam.
Melainkan oleh benang-benang sutra yang ditarik perlahan, satu demi satu, dengan kesabaran yang hampir tidak masuk akal bagi dunia modern.
Pagi di Kota Sengkang, Wajo, Sulawesi Selatan ini selalu terasa seperti pengantar cerita lama. Udara dari Danau Tempe masih lembap. Matahari naik tanpa suara. Lalu dari rumah-rumah panggung, terdengar bunyi yang khas: tok… tok… tok…—irama alat tenun gedongan yang sudah ada jauh sebelum listrik dikenal.
Bagi orang luar, itu hanya bunyi kayu.
Bagi orang Wajo, itu denyut hidup.
Saya berdiri cukup lama di depan sebuah rumah kayu di Kecamatan Tanasitolo. Tidak ada papan nama. Tidak ada spanduk UMKM. Tidak ada etalase. Tapi dari dalam rumah itulah, kain-kain sutra Sengkang yang selama ini kita kenal, lahir dengan penuh martabat.
Di sinilah persutraan bukan industri.
Ia adalah kebudayaan yang bekerja.
Sutra tidak pernah dimulai dari kain.
Ia selalu dimulai dari daun.
Daun murbei.
Daun hijau yang tampak biasa itu adalah fondasi seluruh peradaban persutraan di Wajo. Tanpa murbei, tidak ada ulat. Tanpa ulat, tidak ada kokon. Tanpa kokon, tidak akan pernah ada benang sutra. Dan tanpa benang, Sengkang hanya akan menjadi kota kecil biasa di Sulawesi Selatan.
Di banyak tempat, rantai produksi dipisah. Di Wajo, semuanya menyatu. Petani murbei bisa menjadi pemelihara ulat. Pemelihara ulat bisa menjadi pemintal benang. Pemintal benang bisa menjadi penenun. Sebuah ekosistem yang bekerja tanpa perlu istilah rumit.
Ulat sutra di sini dipelihara seperti anak sendiri. Suhu ruangan dijaga. Kebersihan diperhatikan. Daun murbei dipilih satu per satu. Ada ilmu yang tidak tertulis, tapi dihafal oleh ingatan kolektif masyarakat. Mereka menyebutnya dengan berbagai istilah lokal—tentang kapan memberi makan, kapan membersihkan, kapan memanen kokon.
Ini bukan kerja cepat.
Ini kerja telaten.
Tidak ada komentar