Maros, katasulsel.com – Dunia aktivis Maros bak diguncang gempa besar. M.I, sosok vokal yang selama ini lantang menyerukan pemberantasan korupsi, kini justru menjadi pesakitan.
Pria yang kerap dijuluki “Singa Anti-Korupsi” itu ditangkap Polres Maros atas dugaan keterlibatan dalam kasus korupsi Dana Alokasi Khusus (DAK) senilai Rp 2,2 miliar.
Tak sendirian, M.I diduga menjadi “otak besar” di balik skema manipulasi proyek rehabilitasi Dinas Perpustakaan Kabupaten Maros. Kasus ini menyeret empat tersangka lain, masing-masing dengan peran bak pemain di panggung sandiwara korupsi.
Kasat Reskrim Polres Maros, Iptu Aditya P.D. Sejati, membongkar peran kelima tersangka dalam skema ini. M.I, yang disebut sebagai pengatur utama, diduga menyusun laporan fiktif, mengatur pembayaran proyek yang tak sesuai, hingga melibatkan pihak lain untuk menutup pekerjaan yang mangkrak.
Di belakangnya, AN, seorang pejabat di Dinas Perpustakaan, memainkan peran sebagai “penjaga gerbang legalitas palsu.” AN bertugas menyetujui dokumen administrasi tanpa verifikasi, memastikan semuanya terlihat sah di atas kertas.
Dua kontraktor, AR dan SN, menjadi aktor lapangan yang menandatangani kontrak kerja fiktif dan menyediakan material serta tenaga kerja yang nyatanya hanya “ada di angan-angan.” Sementara itu, WS, seorang staf administrasi, bertugas menyulap laporan keuangan agar aliran dana proyek berjalan mulus tanpa hambatan.
Kasus ini tak hanya mencoreng nama M.I, tetapi juga mengguncang kredibilitas LSM di Maros. Zakir Gonrong, tokoh masyarakat setempat, menilai peristiwa ini sebagai ironi tragis.
“LSM seharusnya menjadi pengawas independen yang menjaga transparansi, bukan justru bermain di kubangan korupsi. Ini penghianatan terhadap kepercayaan publik,” ujar Zakir dengan nada geram.
Ia menuntut langkah tegas dari pemerintah untuk mengaudit laporan keuangan LSM secara berkala. “Integritas itu seperti kaca, sekali retak, kepercayaan pun sulit dipulihkan,” tambahnya.
Moral Cerita di Tengah Kekalutan
Kasus ini menjadi pelajaran pahit bahwa integritas adalah harga mati bagi lembaga pengawas. Di balik topeng idealisme, ujian sesungguhnya ada pada kemampuan bertahan dari godaan kekuasaan dan uang.
Masyarakat kini menanti, apakah kasus ini akan membuka jalan bagi reformasi total di dunia aktivis, atau justru menjadi kisah kelam yang hilang ditelan waktu.(*)
Tinggalkan Balasan