
Banjarmasin, katasulsel.com — Hidup terkadang seperti seutas tali rapuh yang menggantung di antara dua jurang.
Kau pikir kau aman, lalu tiba-tiba angin datang, meniup segalanya. Begitulah malam itu, malam terakhir Juwita (23) di dunia ini.
Juwita, seorang jurnalis muda penuh semangat, ditemukan tak bernyawa di Jalan Gunung Kupang, Kabupaten Banjar.
Awalnya, kabar itu menyusup pelan seperti desas-desus biasa: kecelakaan tunggal. Tapi, semakin dilihat, semakin banyak yang terasa ganjil.
Teny, sahabat sekaligus rekan kerja Juwita, adalah salah satu orang pertama yang merasa ada sesuatu yang tak beres. Ia masih ingat jelas percakapan terakhir mereka. Pukul 10.49 malam, Juwita membalas pesannya dengan emoji tawa. Lalu, pukul 12.01, pesan Teny hanya centang dua tanpa terbaca. Setelah itu, sunyi.

Ketika Teny mendengar kabar Juwita telah tiada, ia langsung meluncur ke pemulasaraan jenazah. Tapi yang ia temukan bukanlah jawaban.
Justru lebih banyak pertanyaan. Luka memar di bawah mata, lebam di leher hingga daun telinga kiri, pakaian yang masih bersih—semua ini tidak cocok dengan cerita kecelakaan tunggal.
“Kalau laka, pasti bajunya kotor dan rusak,” kata Teny dengan nada getir.
Rendy Tisna dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banjarmasin turut angkat bicara. Ia juga merasakan kejanggalan serupa. Luka-luka di dagu dan punggung, posisi tubuh terlentang dengan helm masih terpasang rapi—ini bukan pemandangan biasa dari korban kecelakaan di jalan raya.
Bersambung…
Tinggalkan Balasan