Telan Sapi di Sidrap, Memang Seberapa Besar Mulut Piton?
Sidrap, katasulsel.com – Sebuah kejadian mencengangkan kembali mengingatkan kita betapa liar dan tak terduganya alam sekitar. Di Desa Betao Riase, Kecamatan Pitu Riase, Sidrap, seekor ular piton sepanjang 6,5 meter ditemukan sedang menelan seekor sapi dewasa milik warga pada Sabtu pagi, 17 Mei 2025.
Rekaman video amatir yang beredar luas memperlihatkan detik-detik menegangkan saat tubuh sapi mulai dari kepala hingga separuh badan telah masuk ke dalam mulut sang ular. Peristiwa ini sontak membuat geger masyarakat setempat, terutama warga yang melintas di jalan tani tempat kejadian itu berlangsung.
Beberapa warga berusaha menyelamatkan sapi, namun upaya itu terlambat. Sapi malang itu telah tewas. Ular tersebut akhirnya ditebas dan dibunuh untuk mencegah ancaman serupa ke depannya.
Kepala Desa Betao Riase, Suardi, membenarkan insiden itu. Ia menyebut kasus seperti ini bukan yang pertama terjadi di wilayahnya. “Memang betul, kejadiannya tadi pagi. Ular piton sedang memangsa sapi warga di jalan kebun. Kami imbau warga agar lebih waspada, terutama saat beraktivitas di ladang atau hutan,” kata Suardi kepada wartawan.
Secara ilmiah, spesies yang diduga terlibat dalam insiden ini adalah Python reticulatus atau ular sanca kembang, salah satu jenis ular terbesar di dunia yang banyak ditemukan di Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Ahli reptil menyebut ular ini bisa mencapai panjang lebih dari 10 meter, meskipun yang paling umum ditemukan di alam liar berkisar antara 4 hingga 7 meter. “Yang membuat piton menakutkan bukan hanya panjangnya, tapi kemampuan rahangnya yang sangat elastis,” kata Dr. Wahyu Pranata, herpetolog dari Universitas Hasanuddin. “Rahangnya tidak menyatu secara permanen, melainkan dihubungkan oleh ligamen lentur yang memungkinkannya membuka lebar dan menelan mangsa yang ukurannya jauh melebihi diameter kepala atau lehernya.”
Dalam kondisi ideal, ular sepanjang 6-7 meter dapat menelan hewan seukuran kambing, babi, atau anak sapi. Namun menelan sapi dewasa seperti dalam kasus di Betao Riase tergolong langka, dan seringkali menyebabkan ular tersebut mengalami gangguan pencernaan atau bahkan kematian karena overkapasitas.
Beberapa faktor yang memungkinkan peristiwa ini terjadi antara lain kondisi lapar ekstrem akibat menipisnya populasi mangsa alami, kehilangan habitat karena alih fungsi hutan menjadi kebun, dan kesalahan naluriah dalam memperkirakan ukuran mangsa.

Insiden di Betao Riase bukan hanya membuat takut warga, tetapi juga membuka diskusi penting soal hubungan antara manusia dan satwa liar. Kepala desa dan aparat setempat telah meminta warga untuk tidak melepas hewan ternak sembarangan di area perkebunan atau hutan, serta memasang penerangan tambahan dan pagar pembatas kandang. “Warga juga diimbau untuk segera melapor jika menemukan ular besar atau tanda-tanda kemunculannya, agar bisa segera ditindaklanjuti,” tambah Suardi.
Meski kejadian ini menimbulkan trauma, perlu diingat bahwa ular piton bukan predator jahat. Mereka adalah bagian dari ekosistem yang menjaga keseimbangan populasi hama. Namun, ketika habitat mereka terusik dan rantai makanan terganggu, konflik seperti ini menjadi tak terhindarkan.
Kisah mengerikan dari Desa Betao Riase ini tak sekadar kisah seekor sapi dan seekor ular. Ini adalah alarm keras bagi kita semua: bahwa ketika alam merasa terusik, ia bisa menyuarakan ketidakseimbangannya dengan cara paling mengejutkan. (*)
Editor: Edy Basri / Reporter: Tipoe Sultan