Tujuh Tahun Tanpa AKP Sepri—Istri Eks Kapolsek di Takalar Masih Menjaga Seragam Suaminya

Paulina tidak menangis saat mengisahkan hari itu.
Matanya lurus menatap ke depan
, seolah ingat sesuatu

Laporan: Edy Basri

“Masih saya ingat… pagi itu beliau bilang mau rehat sebentar,” katanya.
“Tiba-tiba tubuhnya jatuh… begitu saja.”

1 April 2017.
AKP Sepri, suaminya, baru saja tiba di rumah dinas Kapolsek Polongbangkeng Selatan, Takalar.
Tensi darahnya naik. Terlalu tinggi.
Pembuluh darah di kepala pecah.
Dilarikan ke RS Bhayangkara Makassar.
Namun tidak tertolong.

“Tidak ada firasat. Tidak ada keluhan sebelumnya. Sehat-sehat saja,” ucap Bu Lina.

Mereka menikah 10 Juli 1993.
Dua puluh tiga tahun bersama.
Membesarkan dua anak. Angel dan Rifan.

Kini Angel bekerja di sebuah perusahaan besar.
Rifan baru saja meraih gelar Sarjana Hukum tahun kemarin.

“Bapak tidak sempat lihat saya diwisuda,” ujar Rifan pelan.
“Tapi saya yakin… beliau tahu dari atas sana.”

Rifan masih menyimpan satu suara di kepalanya.
Suara sang ayah.
“Jadi orang jangan pernah sombong. Jangan juga takut,” katanya, menirukan pesan ayahnya.

banner 300x600

Angel pun masih menyimpan satu kenangan yang sulit dilupakan.
“Bapak selalu sempatkan antar kami ke sekolah… walau dia jaga malam,” katanya.
“Kadang cuma duduk sebentar di motor. Tapi rasanya tenang kalau lihat senyum beliau.”

AKP Sepri bukan hanya milik keluarganya.
Ia juga dikenang rekan-rekannya.

Salah satu mantan anak buahnya, menyimpan kenangan itu dalam-dalam.

“Beliau tidak pernah marah dengan suara tinggi,” katanya.
“Kalau ada yang salah, beliau duduk bersama. Ngopi. Lalu memberi nasihat. Bukan omelan.”

Di mata anak-anak buahnya dulu, AKP Sepri lebih dari sekadar atasan.
Ia panutan.
Kawan.
Pemimpin yang mendengar sebelum memutuskan.

Kini, tujuh tahun sudah berlalu.
Tapi di rumah Bu Lina, semua masih seperti dulu.
Seragam dinas masih tergantung.
Foto-foto masih berjajar. Lengkap dengan senyum dan pangkat tiga ‘balok emas’ di bahu.

“Seragam itu tidak pernah saya pindahkan. Itu milik beliau. Biarkan tetap di sana,” ucap Bu Lina.

Ia tidak pernah meminta anak-anaknya mengikuti jejak ayah mereka.
Tapi dalam hati kecilnya, ada harapan itu.

“Kalau kelak mereka mau jadi polisi… saya cuma bisa bilang: jadilah polisi seperti ayahmu,” katanya.

Setiap malam, setelah semua tidur, Bu Lina duduk sendiri di ruang tamu.
Memandangi seragam itu.
Kadang ia buka lemari.
Mengusapnya pelan.
Lalu menutup kembali.

Ia tahu, yang pergi tak akan kembali.
Tapi kenangan tak pernah benar-benar mati.

Dari kehilangan itu, Bu Lina belajar satu hal:
Cinta tak perlu ditunjukkan dengan tangis.
Cukup dengan kesetiaan menjaga yang ditinggalkan (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup
banner 1920x480