Ketika Wakaf Tak Lagi Sakral di Wajo
Ada tanah yang suci. Diberikan bukan untuk dijual, apalagi dirampas. Tapi untuk diamalkan. Untuk ilmu. Untuk akhirat.
Oleh: Darwis Lenggang
TANAH itu kini terusik. Bukan oleh waktu. Tapi oleh nafsu.
Terletak di Tangkoli, Maniangpajo, Kabupaten Wajo, sebidang sawah milik wakaf Pondok Pesantren As’adiyah diduga dikuasai oleh kelompok warga yang mengaku paling berhak.
Bukan karena warisan. Bukan pula karena surat sah. Tapi karena merasa kuat, atau merasa boleh.
Pondok Pesantren As’adiyah adalah nama besar. Ia tidak hanya mendidik santri, tapi juga menjaga marwah wakaf yang dititipkan sejak puluhan tahun lalu.
Sawah itu bagian dari amal jariyah. Diserahkan oleh hamba Allah yang percaya, bahwa setiap bulir padi di situ akan menjadi ladang pahala.
Tapi kini, ladang itu menjadi ladang konflik. Para pengurus pesantren sudah menempuh jalur hukum.
Laporan dilayangkan ke Polres Wajo. Surat-surat digelar. Bukti kepemilikan diperlihatkan. Tapi seolah hukum dan ketenangan sedang ditantang oleh kuasa lapangan.
Video yang beredar memperlihatkan ketegangan. Kamera tak berbohong: terlihat bagaimana suasana kian memanas.

Sebagian warga mendukung pesantren. Sebagian lagi justru berdiri di sisi yang berseberangan.
Yang lebih mengkhawatirkan, muncul aroma premanisme. Sesuatu yang mestinya jauh dari tanah wakaf. Dari lembaga agama. Dari nilai-nilai keikhlasan.
Ini bukan sekadar soal sengketa tanah. Ini soal etika. Soal warisan nilai. Soal bagaimana kita memperlakukan sesuatu yang telah diwakafkan demi ummat.
Negara harus hadir. Bukan hanya sebagai penonton. Tapi sebagai penegak keadilan. Karena jika tanah wakaf bisa diambil oleh yang kuat, lalu apa yang tersisa untuk yang lemah?
Tanah boleh diam. Tapi nurani tak akan tinggal tenang. Karena dalam diam itu, ada jerit yang tak terdengar. Jerit suci dari wakaf yang dikhianati. (*)
📢 Ikuti Katasulsel.com di WhatsApp!
Dapatkan berita terpercaya dan update setiap hari langsung di ponsel Anda.
👉 Klik di sini & tekan Ikuti