Pria Pinrang Nekat Bawa Burung Seharga Rp135 Juta Lomba di Sidrap, Untung Juara 1
Sidrap, Katasulsel.com — Burung-burung itu bukan sekadar berkicau. Mereka berbicara. Menggugah langit. Menggetarkan hati. Meliuk di antara gelombang suara dan selera juri.
Acaranya berlangsung, Minggu pagi, 15 Juni 2025, di Depan Gedung Perpustakaan Umum Daerah, lokasi di Kota Pangkajene, Sidrap, daerah yang kini dipimpin Bupati Syaharuddin Alrif.
Kegiatan ini membetot perhatian, menjadi medan adu nada. Gantangan berdiri tegak, ratusan sangkar digantung, dan ratusan suara dilepas ke udara dalam satu kompetisi bergengsi: Lomba Kicau Burung yang digelar Padepokan 3 Serangkai.
Pesertanya datang dari berbagai penjuru Sulawesi Selatan dan Barat. Dari Makassar, Maros, Parepare, Bone, Wajo, Pinrang, hingga Mamuju.
Para peserta masing-masing membawa jagoan bersayap, yang telah ditempa dengan latihan, disiplin, dan cinta. Burung-burung ini bukan binatang biasa. Mereka adalah atlet vokal. Seniman langit. Produk dari ilmu dan ketelatenan.
Tak hanya sekadar ramai atau lantang, suara burung dinilai dari stabilitas vokal, durasi, improvisasi nada, hingga stamina dalam berkicau.
Istilah-istilah seperti roll panjang, tembakan, hingga ngerol nembak menjadi bahasa wajib di dunia kicau mania.
Di balik semua itu, ada pendekatan ilmiah yang disebut bioakustik — ilmu tentang suara sebagai alat komunikasi antarspesies, termasuk burung.

Juri-juri paham betul irama cucak ijo, nada khas murai batu, hingga karakter lovebird yang bisa membuat penonton merinding.
Yang mencuri perhatian datang dari Pinrang. Seorang peserta membawa seekor burung murai batu yang ia beli dari Jawa Timur.
Tak main-main, harganya fantastis: Rp135 juta.
Pria berkulit putih itu tidak ragu menyebutnya investasi. Sebab, si burung bukan hanya pandai berkicau, tapi juga konsisten dan tenang.
Ia tampil meyakinkan sejak awal lomba. Irama suara melengking, lalu menukik, seolah memecah ruang dan waktu. Juri terdiam. Penonton ikut terbius.
Dan ketika hasil diumumkan, nama burung itulah yang naik ke podium: juara satu.
“Dia punya power, dia punya karakter suara, dia stabil. Saya tahu dari awal dia bukan burung sembarangan,” kata sang pemilik dengan bangga.
Dunia kicau tak lagi sebatas hobi. Ia telah menjelma jadi ekosistem.
Dari breeding, perawatan, perlombaan, hingga transaksi. Ada burung yang diternakkan seperti bibit unggul.
Ada yang dilatih dengan metode khusus, termasuk terapi embun dan pemasteran suara. Bahkan tak sedikit yang diasuransikan, disewakan, atau ditawar lintas provinsi. Ini sudah industri. Bahkan ekonomi alternatif bagi sebagian orang.
Lomba seperti ini bukan hanya soal siapa menang dan siapa kalah. Tapi juga ruang temu. Forum tukar ilmu. Ajang bertukar resep dan formula. Sebab di dunia ini, satu nada bisa bernilai puluhan juta. Satu irama bisa jadi reputasi seumur hidup.
Padepokan 3 Serangkai tak hanya menggelar lomba. Mereka merayakan kultur. Menghormati seni dari tenggorokan seekor burung. Mengabadikan suara dalam bentuk prestasi. Di langit Sidrap hari itu, bukan hanya burung yang berkicau. Tapi sejarah. (*)
Oleh: Saiful
📢 Ikuti Katasulsel.com di WhatsApp!
Dapatkan berita terpercaya dan update setiap hari langsung di ponsel Anda.
👉 Klik di sini & tekan Ikuti