Soetarmi, Kasi Penkum Kejati Sulsel Jaksa Kreatif dalam Edukasi Hukum, Narasumber pada Seminar Legislatif Nasional dengan tema Revisi RUU KUHAP Sebuah Urgensi Nasional dalam Mewujudkan Keadilan di Fakultas Syariah & Hukum UIN Alauddin Makassar
Makassar, katasulsel.com — Suasana akademik memanas. Tapi bukan karena suhu udara. Melainkan karena intensitas wacana hukum yang begitu dinamis di Auditorium Fakultas Syariah & Hukum UIN Alauddin Makassar, Selasa (17/6/2025).
Seminar Legislatif Nasional bertajuk Revisi RUU KUHAP: Sebuah Urgensi Nasional dalam Mewujudkan Keadilan menjadi ajang adu gagasan, adu tafsir, sekaligus ruang refleksi bersama untuk menyisir ulang rancang bangun hukum acara pidana Indonesia.
Dekan Fakultas Syariah & Hukum, Dr. H. Abd Rauf Muhammad Amin, Lc., M.A., membuka forum dengan pesan tajam namun membumi. Ia berharap para mahasiswa tidak hanya menyimak, tetapi menyerap dan mengontekstualisasi. “Sekarang waktunya membenturkan teori dengan praksis. Narasumber kita bukan hanya ahli teks, mereka pelaku langsung,” ujarnya.
Dari legislatif hadir Anggota Komisi I DPR RI, Dr. H. Syamsu Rizal Marzuki Ibrahim, yang menyorot adanya power imbalance dalam sistem peradilan pidana nasional. Ketimpangan kuasa antara penyidik, jaksa, dan tersangka masih menjadi core issue. Ia juga menekankan kelemahan perlindungan terhadap korban dan tersangka yang belum dirumuskan secara normatif dan tegas dalam RUU KUHAP. “Ini soal fair trial. Kita tidak bisa lagi menunda revisi KUHAP jika ingin mewujudkan peradilan yang modern dan manusiawi,” tegasnya.
Sementara itu, akademisi Muh Amiruddin, S.H., M.H., mengajak hadirin menengok sejarah. “KUHAP lahir 1981. Sekarang 2025. Sudah waktunya disesuaikan. Hukum itu harus hidup, ius constitutum tak boleh stagnan,” ujarnya. Ia juga menyoroti pentingnya kebebasan warga dalam memberikan keterangan tanpa tekanan dalam proses hukum.
Namun, perhatian forum mulai terpusat pada figur jaksa bernama Soetarmi. Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Sulsel ini tampil sebagai narasumber yang mencuri perhatian dengan narasi yang kuat dan pendekatan yang otentik.
Dalam paparannya, Soetarmi menyodorkan satu isu yang selama ini kurang disorot: Restorative Justice dan peran kunci Jaksa. “RJ bukan sekadar alternatif penyelesaian perkara. Ini adalah paradigma keadilan baru. Negara tidak hanya menghukum, tapi memulihkan,” ujarnya.
Menurutnya, posisi Jaksa sangat strategis karena berada di titik kontrol dalam penanganan perkara. “Dominus litis. Jaksa bukan hanya penuntut, tapi juga pengarah arah keadilan. Dan RJ tanpa peran jaksa, hanya akan jadi slogan kosong dalam KUHAP baru nanti,” tambahnya.

Pandangan Soetarmi memperkuat diskursus bahwa keadilan pidana tidak lagi bisa dimaknai dalam kerangka retributif semata. Di sinilah kehadiran konsep restoratif ala Howard Zehr sebagaimana dijelaskan Dr. Heriyanto menjadi relevan. Ia menjelaskan, dalam criminal justice, pelaku adalah musuh hukum, sedangkan dalam restorative justice, pelaku dan korban diajak berdialog, menyusun rekonstruksi relasi sosial yang tercerai oleh kejahatan.
Ketua Dewan Kehormatan Peradi, Dr. Tadjuddin Rachman, mempertegas bahwa setiap perubahan hukum (termasuk KUHAP) harus dibarengi dengan kesiapan infrastruktur dan sumber daya aparatur. “Hukum tak bisa berdiri sendiri. Ia memerlukan ekosistem,” katanya.
Seminar ini pun menjadi mozaik pemikiran yang menunjukkan bahwa hukum adalah medan tafsir yang hidup. Bukan teks yang beku. Dan Soetarmi — jaksa yang juga edukator — telah memberi warna berbeda. Menjelaskan hukum tanpa menggurui. Mengedukasi tanpa mendikte.
Sebuah gaya baru dari ruang penegakan hukum yang mulai berubah wajah.
KEJATI SULSEL, Gowa — Suasana akademik memanas. Tapi bukan karena suhu udara. Melainkan karena intensitas wacana hukum yang begitu dinamis di Auditorium Fakultas Syariah & Hukum UIN Alauddin Makassar, Selasa (17/6/2025).
Seminar Legislatif Nasional bertajuk Revisi RUU KUHAP: Sebuah Urgensi Nasional dalam Mewujudkan Keadilan menjadi ajang adu gagasan, adu tafsir, sekaligus ruang refleksi bersama untuk menyisir ulang rancang bangun hukum acara pidana Indonesia.
Dekan Fakultas Syariah & Hukum, Dr. H. Abd Rauf Muhammad Amin, Lc., M.A., membuka forum dengan pesan tajam namun membumi. Ia berharap para mahasiswa tidak hanya menyimak, tetapi menyerap dan mengontekstualisasi. “Sekarang waktunya membenturkan teori dengan praksis. Narasumber kita bukan hanya ahli teks, mereka pelaku langsung,” ujarnya.
Dari legislatif hadir Anggota Komisi I DPR RI, Dr. H. Syamsu Rizal Marzuki Ibrahim, yang menyorot adanya power imbalance dalam sistem peradilan pidana nasional. Ketimpangan kuasa antara penyidik, jaksa, dan tersangka masih menjadi core issue. Ia juga menekankan kelemahan perlindungan terhadap korban dan tersangka yang belum dirumuskan secara normatif dan tegas dalam RUU KUHAP. “Ini soal fair trial. Kita tidak bisa lagi menunda revisi KUHAP jika ingin mewujudkan peradilan yang modern dan manusiawi,” tegasnya.
Sementara itu, akademisi Muh Amiruddin, S.H., M.H., mengajak hadirin menengok sejarah. “KUHAP lahir 1981. Sekarang 2025. Sudah waktunya disesuaikan. Hukum itu harus hidup, ius constitutum tak boleh stagnan,” ujarnya. Ia juga menyoroti pentingnya kebebasan warga dalam memberikan keterangan tanpa tekanan dalam proses hukum.
Namun, perhatian forum mulai terpusat pada figur jaksa bernama Soetarmi. Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Sulsel ini tampil sebagai narasumber yang mencuri perhatian dengan narasi yang kuat dan pendekatan yang otentik.
Dalam paparannya, Soetarmi menyodorkan satu isu yang selama ini kurang disorot: Restorative Justice dan peran kunci Jaksa. “RJ bukan sekadar alternatif penyelesaian perkara. Ini adalah paradigma keadilan baru. Negara tidak hanya menghukum, tapi memulihkan,” ujarnya.
Menurutnya, posisi Jaksa sangat strategis karena berada di titik kontrol dalam penanganan perkara. “Dominus litis. Jaksa bukan hanya penuntut, tapi juga pengarah arah keadilan. Dan RJ tanpa peran jaksa, hanya akan jadi slogan kosong dalam KUHAP baru nanti,” tambahnya.
Pandangan Soetarmi memperkuat diskursus bahwa keadilan pidana tidak lagi bisa dimaknai dalam kerangka retributif semata. Di sinilah kehadiran konsep restoratif ala Howard Zehr sebagaimana dijelaskan Dr. Heriyanto menjadi relevan. Ia menjelaskan, dalam criminal justice, pelaku adalah musuh hukum, sedangkan dalam restorative justice, pelaku dan korban diajak berdialog, menyusun rekonstruksi relasi sosial yang tercerai oleh kejahatan.
Ketua Dewan Kehormatan Peradi, Dr. Tadjuddin Rachman, mempertegas bahwa setiap perubahan hukum (termasuk KUHAP) harus dibarengi dengan kesiapan infrastruktur dan sumber daya aparatur. “Hukum tak bisa berdiri sendiri. Ia memerlukan ekosistem,” katanya.
Seminar ini pun menjadi mozaik pemikiran yang menunjukkan bahwa hukum adalah medan tafsir yang hidup. Bukan teks yang beku. Dan Soetarmi — jaksa yang juga edukator — telah memberi warna berbeda. Menjelaskan hukum tanpa menggurui. Mengedukasi tanpa mendikte.
Sebuah gaya baru dari ruang penegakan hukum yang mulai berubah wajah. (awis)
📢 Ikuti Katasulsel.com di WhatsApp!
Dapatkan berita terpercaya dan update setiap hari langsung di ponsel Anda.
👉 Klik di sini & tekan Ikuti