Golkar Soppeng di Simpang Kekuasaan? Antara Dinasti Kaswadi dan Manuver Suwardi

Ilustrasi

Tapi seperti yang ditulis Machiavelli, “The one who helps you rise will expect you to kneel.” Suwardi tidak tunduk. Ia mulai membentuk garis komando baru. Bukan frontal. Tapi jelas. Terstruktur. Sistematis.

Absen total fraksi Golkar dalam sidang 20 Juni bukan kejadian biasa. Ini sinyal. Dalam teori behavioral political science, tindakan kolektif seperti ini disebut code of disobedience—pembangkangan halus tanpa perlu teriak.

Dan ini bukan sekali. Sudah beberapa sidang penting sebelumnya berjalan tanpa partisipasi penuh dari partai yang pernah menjadi mesin kekuasaan daerah.

Jika Suwardi ingin memastikan pembangunan berjalan mulus lima tahun ke depan, ia harus masuk lebih dalam ke tubuh Golkar. Ia butuh struktur. Bukan hanya simbol.

Namun dinasti Kaswadi terlalu kuat untuk diremehkan. Akar mereka tumbuh di struktur, di kultur, di basis suara yang masih setia pada keluarga bupati lama itu. Farid, meski muda, punya pengalaman dan legitimasi.

Golkar Soppeng sedang berada di titik kritis. Dalam kajian politik kontemporer, ini disebut sebagai intra-party realignment—pergeseran kekuatan dalam tubuh partai yang bisa mengubah konfigurasi jangka panjang.

Jika tidak hati-hati, ini bisa berujung pada fragmentasi. Seperti pecahnya PPP era Djan Faridz dan Romahurmuziy. Atau Partai Demokrat di zaman dualisme AHY dan Moeldoko.

Pertarungan ini bukan lagi soal siapa ketua DPD II. Tapi siapa pemegang kekuasaan sesungguhnya. Siapa yang mengendalikan struktur. Siapa yang bisa mengontrol narasi. Siapa yang bisa menjaga kelangsungan partai dalam sistem presidensial multipartai yang kompleks seperti Indonesia.

banner 300x600

Dan dalam politik lokal, kekuasaan tidak hanya soal elektabilitas. Tapi juga patronase, loyalitas, dan negosiasi senyap di balik pintu tertutup.

Golkar Soppeng sedang mengarah ke titik balik. Apakah akan tetap berada di bawah kendali keluarga Kaswadi? Atau akan berpindah ke tangan Suwardi, pemimpin eksekutif yang kini punya kuasa penuh atas birokrasi?

Waktu akan menjawab. Tapi satu hal pasti: rakyat tidak lagi hanya memilih. Mereka kini menjadi pengamat paling tajam. (*)

Editor: Harianto

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup