Logo Katasulsel
๐Ÿ”Š Klik untuk dengar suara
Logo Overlay
๐Ÿ”ด Tiga Tahun Cinta Hancur dalam Sehari, Dia Kabur Patah Hati, Lalu Sang CEO Muncul ๐Ÿ”ด Kat-Tv dan Katasulsel.com Membutuhkan Jurnalis, Silakan Hubungi 082348981986 (Whatsapp) ๐Ÿ”ด

Ketika Rumah Rata, Camelia Berdiri Tegak Bersama Warga di Kebun Sayur Jakarta Barat

Camelia Panduwinata Lubis

Jakarta, KATASULSEL.COM โ€” Hujan turun semalam. Tapi tanah itu tetap merah. Tetap basah oleh air mata.

Bukan hujan yang membasahi tanah seluas 23 hektare di Jalan Kebun Sayur, Cengkareng. Tapi duka. Jerit ibu-ibu. Tangis bocah-bocah yang tak tahu harus tidur di mana malam itu. Semua rumah merekaโ€”ratusan di antaranyaโ€”rata dengan tanah.

Bukan oleh alat berat negara. Tapi oleh tangan-tangan kekuasaan yang menyaru.
Yang diduga membawa preman, memegang linggis, dan merobohkan masa lalu warga yang telah puluhan tahun mengakar di sana.

Camelia Panduwinata Lubis berdiri di atas puing-puing itu. Bukan sebagai artis. Tapi sebagai manusia.

Ini menyayat hati saya…

Kalimat itu terdengar lirih dari balik masker yang tak bisa menutup matanya yang basah. Ia tidak hanya datang melihat. Ia datang pasang badan. Untuk warga. Untuk kemanusiaan.

Konflik pertanahan ini bukan perkara sertifikat. Tapi soal hati nurani.

Soal 3.000 jiwa yang kini tidur di pos ronda, memakai baju yang kemarin mereka kenakan saat rumahnya dirobohkan. Tak sempat menyelamatkan apa-apa. Hanya tubuh sendiri yang bisa mereka bawa lari.

Konon, pemicu penggusuran ini adalah klaim sepihak dari seorang bernama Herawati. Di baliknya, menurut warga, berdiri sekelompok preman. Diduga anak buah Hercules. Nama lama dalam dunia gelap ibu kota.

banner 300x600

Mereka datang tak dengan surat. Tapi dengan suara keras dan tangan yang siap menggusur.

Camelia tak tinggal diam. Ia menyaksikan bagaimana bayi digendong di tengah reruntuhan, anak-anak bermain di atas puing, dan para ibu memeluk trauma seperti memeluk bantal di malam tanpa atap.

Apa negara hanya jadi penonton? Di mana Presiden? Di mana hati nurani kekuasaan?
Suaranya menggema, lebih keras dari gemuruh alat berat yang dulu meratakan rumah-rumah warga.

Warga sudah berteriak. Sudah berdemo. Ke kantor walikota. Ke Balaikota. Tapi tak pernah ditemui. Tak ada pintu yang dibuka.

Padahal mereka hanya ingin didengar. Bukan disuruh menunggu.

Bersambung..

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup