Malam itu, studio CNBC Indonesia tampak seperti biasa: terang, bersih, tenang.
Tapi isi siarannya tidak biasa.
Oleh: Edy Basri
Bupati Sidrap, H. Syaharuddin Alrif, hadir sebagai narasumber. Wajahnya tenang. Suaranya datar. Tapi kalimat-kalimatnya penuh muatan teknis dan semangat lapangan.
Ia datang bukan dengan retorika, tapi dengan angka. Dengan strategi. Dengan data sawah dan irigasi.
Bajunya seperti biasa: putih. Lengan panjang. Baju khas yang sudah menjadi semacam identitasnya sejak dulu. Tidak berubah.
Topik malam itu: “Sidrap Perkuat Swasembada Pangan Lewat Optimalisasi Lahan.”
Durasi tayangnya hanya sekitar 4 menit 20 detik, tapi cukup membuat publik tahu bahwa dari Timur Indonesia, ada satu daerah yang tidak ingin hanya menunggu kiriman beras.
Host Bunga Cinka membuka dengan pertanyaan ringan tapi tajam:
“Sidrap ini kan dikenal sebagai lumbung padi dan telur, ya Pak. Di kepemimpinan ini, bagaimana strategi Anda memperkuat posisi ini secara nasional?”
Jawaban Syaharuddin langsung pada substansi:
Sidrap menyambut program ketahanan pangan nasional. Bahkan tidak tanggung-tanggung, ia naikkan jumlah tanam dari dua kali menjadi tiga kali setahun.
Program IP300, istilah teknisnya.
Targetnya juga jelas:
“Satu juta ton padi per tahun.”
Yang sebelumnya baru 440 ribu ton.
Di layar, ia tidak sekadar menjawab. Ia menyusun strategi teknokratik dengan gaya yang sederhana.
Ia menyebut sepuluh langkah—semacam agricultural roadmap—yang disusun secara berlapis: dari irigasi, benih, pupuk, pestisida, BBM, hingga soal mekanisasi dan industri penggilingan padi.
“Alhamdulillah alat-alat pertanian kami sudah canggih. Dan ada 185 pabrik penggilingan padi di Sidrap. Bahkan sudah seperti di luar negeri,” katanya tenang.
Lalu ia bicara soal kejujuran timbangan, soal tenaga kerja lokal, soal sinergi dengan perguruan tinggi seperti UNHAS.
Istilah yang keluar darinya tidak populer. Tapi nyata.
Host kembali menggali:
Bersambung..…
Tidak ada komentar