Oleh: Harianto
Benar, ia bukan ahli atau seorang profesional. Tapi, kalau Anda lihat videonya—transisi halus, musik pas, teks muncul tepat waktu—Anda akan mengira dia belajar dari YouTube kelas profesional. Padahal, semua ia kerjakan sendiri. Di sela-sela melayani pelanggan di konter HP-nya yang kecil di Massepe, Sidrap.
Anwar mahir memainkan aplikasi video. CapCut, VN, bahkan Kinemaster yang mulai ditinggalkan pun masih ia kuasai.
“Yang penting bisa utak-atik. Saya suka cari tahu sendiri. Asal ada HP, semua bisa,” katanya, ringan. Ia memperlakukan ponselnya seperti sutradara memperlakukan kamera film. Tidak rumit, tapi penuh insting.
Hari itu saya menemuinya saat sedang menambahkan efek blur pada satu cuplikan videonya. Ia menjelaskan—tanpa ditanya—kenapa bagian itu perlu diburamkan.
“Soalnya ada ibu-ibu lewat, mukanya belum saya minta izin. Saya sensor sedikit, biar aman,” katanya sambil terkekeh.
Saya diam-diam mengagumi ketelitiannya.
Anwar bukan sekadar pengusaha konter HP yang nyambi bikin video. Ia adalah representasi zaman: ketika siapa saja bisa belajar, asal mau mencoba. Ketika orang dari sudut Arateng–Tellu Limpoe bisa menyaingi kreator kota besar, hanya dengan satu ponsel dan sedikit rasa ingin tahu.
Ia tidak punya tim produksi. Tidak ada editor bayaran. Semuanya ia buat sendiri. Bahkan musik latar pun ia potong-potong manual agar pas dengan gaya bicaranya yang khas: setengah serius, setengah lucu. Tapi hasilnya? View ribuan. Komentar ratusan. Pengikutnya makin hari makin bertambah.
Yang lebih menarik: kontennya tidak bombastis. Ia tidak perlu membuat prank murahan atau sensasi yang menjual air mata. Video-videonya justru tentang kehidupan sehari-hari: pelanggan yang lupa nomor sendiri, bocah sekolah yang numpang charge, atau testimoni lucu dari tetangga yang datang sekadar ingin masuk video.
“Saya tidak mau jadi orang lain. Biar saja pakai logat Sidrap. Biar saja orang bilang kampungan. Yang penting orang nonton karena saya apa adanya,” katanya.
Dan mungkin, justru di situlah kekuatannya.
Anwar tidak mengejar tren. Ia menciptakan dunianya sendiri. Dunia sederhana di konter kecil, yang sekarang jadi panggung digital tempat ribuan orang mampir saban hari. Di tangan Anwar, aplikasi video bukan sekadar alat. Ia adalah jembatan: dari lokal menuju digital, dari konter ke konten, dari keseharian menuju keabadian di layar ponsel orang-orang.
Dan kalau Anda pikir “orang kampung” tidak bisa main algoritma, Anda salah. Anwar Akib sudah membuktikannya.
Dengan HP, aplikasi, dan kemauan belajar, ia tidak hanya menjual pulsa—ia menjual cerita.
Cerita yang kini ditonton banyak mata. (*)
Tidak ada komentar