Wajo, katasulsel.com — Proses tender proyek pemerintah di Kabupaten Wajo kembali menjadi sorotan. Bukan karena keterlambatan pelaksanaan atau kualitas pekerjaan, melainkan dugaan kuat adanya pola pengkondisian pemenang lelang—sebuah narasi yang kini tak lagi terdengar asing di telinga publik setempat.
Isu ini merebak seiring mencuatnya kecurigaan dari berbagai kalangan yang menilai proses pengadaan di lingkup Unit Layanan Pengadaan (ULP) Kabupaten Wajo mengalami kemunduran dalam hal integritas.
Beberapa pihak bahkan menyebut, nama perusahaan tertentu terus berulang muncul sebagai pemenang dalam proyek-proyek strategis bernilai miliaran rupiah, dari tahun ke tahun. Fenomena yang mereka anggap bukan lagi kebetulan, melainkan bagian dari sebuah desain sistemik.
Menariknya, sang kontraktor yang belakangan disebut sebagai “langganan” proyek, nyaris tak pernah absen dalam daftar pemenang. Pola ini pun mengundang pertanyaan, benarkah persaingan dalam proses tender di Wajo masih berjalan sebagaimana mestinya?
Kepala Bagian Pengadaan Barang dan Jasa Setda Wajo, Masriadi, saat dikonfirmasi di kediamannya pada Jumat (25/07/2025), justru terkesan mengambil jarak dari persoalan tersebut. Ia menegaskan bahwa seluruh proses telah didelegasikan penuh kepada Kelompok Kerja Pemilihan (Pokja) LPSE, melalui Surat Keputusan resmi yang menetapkan lima orang sebagai pengelola teknis.
“Soal lelang, saya sudah berikan wewenang ke pihak Pokja dengan menerbitkan SK. Jadi, teknisnya bukan lagi di saya,” ujar Masriadi singkat.
Pernyataan ini, alih-alih meredam polemik, justru menyulut diskursus baru. Apakah pelimpahan tanggung jawab ini hanya sebatas administratif, atau menjadi tameng strategis untuk menghindari implikasi hukum apabila kelak terbukti adanya pelanggaran?
Di sisi lain, Anggota Pokja LPSE Setda Wajo, H. Kadir, menampik keras dugaan adanya rekayasa dalam pemilihan pemenang tender. Ia menegaskan bahwa proses seleksi dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, mulai dari verifikasi administrasi hingga evaluasi teknis dan penawaran harga.
“Kalau persyaratan tidak lengkap, kami tidak akan meloloskan. Wajar jika publik bertanya, tapi kami punya standar yang jelas,” ujar Kadir saat ditemui terpisah.
Meski begitu, keraguan tak mudah dipatahkan. Ketua Lumbung Informasi Rakyat (LIRA) Kabupaten Wajo, Abrar Mattalioe, menilai proses tender proyek selama ini berjalan jauh dari prinsip keterbukaan dan keadilan.
Ia mendesak agar sistem pengadaan dibuka setransparan mungkin kepada publik dan melibatkan pengawasan yang lebih ketat dari lembaga independen.
“Ada kekhawatiran yang sangat serius. Jangan sampai ULP menjadi tempat subur bagi praktik-praktik manipulatif yang merugikan uang rakyat,” tegas Abrar.
Ia juga menyebut bahwa fenomena serupa pernah terjadi di sejumlah daerah lain, di mana pengadaan barang dan jasa menjadi celah yang rawan disusupi kepentingan tertentu, hingga akhirnya menyeret para pengelolanya ke ranah hukum.
Kini, publik Kabupaten Wajo menunggu. Menunggu langkah tegas dari pengambil kebijakan, dari lembaga pengawasan, bahkan dari penegak hukum—jika perlu—untuk memastikan bahwa setiap rupiah dari anggaran negara betul-betul dikelola secara profesional, bukan dengan logika bagi-bagi proyek.
Sebab dalam pengadaan yang adil, bukan hanya perusahaan yang bersaing. Tapi juga kepercayaan publik yang sedang dipertaruhkan. (ed/abr)
Tidak ada komentar