Penulis: Dzaki, Zefanya & Vio
DESA kecil di Kecamatan Ma’rang, Kabupaten Pangkep ini, sejak lama dikenal punya potensi perikanan air tawar. Terutama ikan nila—jenis Oreochromis niloticus—yang oleh masyarakat setempat biasa dijual dalam bentuk mentah. Padahal, nila punya lebih banyak potensi dari sekadar dibumbui dan digoreng.
Tiga mahasiswa Universitas Hasanuddin datang dan melihat celah itu. Mereka tidak datang membawa proposal tebal atau teori yang susah dicerna. Mereka datang membawa satu ide sederhana: bantu masyarakat mengolah, mengemas, dan memasarkan sendiri.
Namanya program pemberdayaan ekonomi kreatif desa. Bagian dari KKN Tematik Unhas, dengan fokus pada pengembangan potensi lokal.
Yang datang ke Tamangapa adalah Muhammad Dzaki Rabbaanii Efendy dari Agribisnis (Faperta), Zefanya Farrel Palinggi dari Sistem Informasi (FMIPA), dan Vio Dean Saputra dari Ilmu Kelautan (FIKP). Tiga orang, tiga bidang ilmu, satu misi: dorong desa agar tidak lagi sekadar jadi penyedia bahan mentah.
Vio yang dari Ilmu Kelautan mengolah ikan nila menjadi produk bakso beku—frozen fish ball—yang tidak cuma awet disimpan, tapi juga lebih praktis untuk dijual. Diversifikasi produk, begitu istilahnya dalam dunia agribisnis. Satu langkah penting untuk keluar dari jebakan pasar tradisional: murah, cepat basi, dan kompetisi ketat.
Tapi produk bagus tanpa wajah yang menarik hanya akan tenggelam di etalase. Di situlah Zefanya masuk. Ia mengajari ibu-ibu UMKM mendesain kemasan produk: bentuk, warna, label gizi, sampai QR Code untuk informasi tambahan. Ia menggunakan software yang ringan dan gratis. Bukan Photoshop yang berat dan berbayar, tapi aplikasi seperti Canva dan Label Maker—yang bahkan bisa digunakan dari HP Android.
Lalu Dzaki—yang dari Agribisnis—mengisi bagian yang sering dilupakan: digital marketing. Ia memperkenalkan istilah seperti target audience, engagement rate, sampai insight traffic.
Tapi ia tidak menjelaskannya dengan bahasa kuliah. Ia minta peserta buka HP, lalu membuat akun bisnis di Facebook dan WhatsApp. Setelah itu, mereka praktik langsung: bagaimana memotret produk, bagaimana menulis deskripsi yang menjual, dan bagaimana membuat konsumen tertarik lewat story telling sederhana.
“Kami tidak hanya ingin mereka bisa bikin produk, tapi juga bisa menjualnya. Di era digital ini, ponsel sudah cukup untuk membangun usaha,” kata Dzaki.
Program ini digelar pada 24 Juli 2025, langsung di Desa Tamangapa. Dihadiri pelaku UMKM, ibu-ibu rumah tangga, dan tentu saja tokoh masyarakat. Bahkan Pemerintah Desa ikut mendukung penuh. Ada suasana yang cair, tapi serius. Di dapur warga, bakso ikan diproduksi. Di teras rumah, label dicetak. Di aula desa, akun media sosial dibuka.
Bagi warga, ini pengalaman baru. Transformasi ekonomi mikro yang nyata.
“Kegiatan ini sangat bermanfaat, apalagi kami diajari langsung cara membuat produk, mendesain kemasan, sampai promosi lewat HP. Jadi kami lebih percaya diri untuk jualan,” kata Ibu Nurlina, salah satu peserta.
Tidak semua perubahan harus dimulai dari modal besar. Kadang cukup dari ikan nila, kemauan belajar, dan tiga mahasiswa yang tidak ingin KKN-nya sekadar formalitas.
Desa Tamangapa memang tidak akan langsung berubah jadi sentra kuliner berbasis ikan. Tapi dari pelatihan ini, setidaknya sudah lahir satu hal penting: kesadaran akan potensi lokal.
Dan kalau itu terus dipupuk, bukan tak mungkin satu hari nanti, bakso ikan nila beku dari Tamangapa akan bersaing di toko modern. Dengan kemasan elegan. Dengan nama merek lokal. Dan dengan cerita kuat di baliknya: tentang bagaimana sebuah desa belajar berdiri di atas kekuatannya sendiri. (*)
Editor: Edy Basri
Tidak ada komentar