Ismail menegaskan bahwa dengan kepercayaan yang diberikan kepada The Academia of Papua, menjadi sebuah peluang emas dan sekaligus sebagai penghargaan bagi ilmuwan di Tanah Papua.
“Kalau kita terus-menerus menunggu dari pusat, maka daerah akan selalu jadi penonton. Posisi ingin kita bangun sekarang adalah keberanian dari daerah untuk ikut ambil peran dalam percaturan keilmuan internasional, dan BINUS membuka pintunya untuk kita semua,” katanya, mantap.
Workshop ini, sambungnya, telah dirancang bukan sebagai pertemuan satu arah. Setiap peserta akan aktif dalam simulasi penulisan, diskusi naskah, hingga penyusunan roadmap publikasi yang realistis namun menantang. Ia juga menyebut sudah ada beberapa naskah kolaboratif lintas kampus yang mulai disusun menjelang kegiatan.
Di tengah melimpahnya informasi, Ismail berharap lahir lebih banyak jejaring akademik yang kokoh, tidak sekadar berkumpul dalam konferensi tetapi saling menguatkan dalam produksi pengetahuan.
“ICOBAR bisa jadi titik temu. Tapi keberlanjutannya tergantung pada keberanian kita untuk tidak berhenti di seremoni. Saatnya universitas di Indonesia menulis bersama, bukan sendiri-sendiri,” pungkasnya.
BINUS, dengan reputasinya sebagai universitas berbasis riset dan inovasi, telah mengirim sinyal kuat bahwa masa depan kolaborasi ilmiah Indonesia sedang dipersiapkan dengan lebih serius dan inklusif. Asapun di balik itu, ada semangat yang diam-diam sedang bergerak—menyatukan ruang kelas, laboratorium, dan ide-ide dari seluruh penjuru negeri. (*)
Editor: Tipue Sultan
Tidak ada komentar