Pembaruan itu bisa jadi salah satunya terletak pada sosok Sahrin. Bukan hanya karena kedekatannya dengan tokoh-tokoh sentral oposisi, tapi juga karena ia merepresentasikan segmen publik yang selama ini merasa jauh dari proses pengambilan keputusan di balik beton dan birokrasi ibu kota.
Di era ketika lembaga daerah dan korporasi publik makin dituntut transparan, kehadiran figur seperti Sahrin Hamid membuka ruang tafsir baru: bahwa santri, aktivis, dan pekerja ide juga bisa memegang peran strategis dalam pembangunan kota.
Kota yang hari ini tak lagi sekadar dibangun oleh semen dan infrastruktur, tapi juga oleh narasi, identitas, dan kebijakan yang berpihak.
Dalam dinamika ibukota yang cepat berubah dan penuh tarik ulur kepentingan, nama Sahrin mungkin akan terus menjadi perbincangan. Tapi bagi mereka yang mengenalnya sejak dari lorong pesantren hingga ruang konsolidasi nasional, ini bukan kejutan — melainkan kelanjutan dari jalan panjang yang telah ia mulai sejak lama. (*)
Editor: Edy Basri
Tidak ada komentar