PATBM, misalnya, menyoroti masih lemahnya pelaporan dan mekanisme respons cepat terhadap potensi pernikahan dini di beberapa desa. Save the Children mendorong pendekatan preventif yang menyasar keluarga dan tokoh adat. Sementara Wajo Institute menegaskan pentingnya penguatan kapasitas pemerintah desa dan sekolah dalam memberikan perlindungan konkret kepada anak perempuan.
Data internal menunjukkan bahwa angka perkawinan anak di Wajo memang masih di atas rata-rata nasional. Fenomena ini tidak terlepas dari kompleksitas sosial: dari tekanan ekonomi hingga penafsiran keliru terhadap ajaran agama. Namun demikian, tren resistensi perlahan muncul, terutama dari generasi muda dan kelompok masyarakat sipil yang kini lebih berani bersuara.
“Kesadaran kolektif adalah fondasi. Jika masyarakat mendukung, maka regulasi akan berjalan efektif,” ujar salah satu aktivis perempuan yang turut hadir dalam sesi diskusi publik.
Momentum HAN ini pun menjadi titik pijak penting. Pemerintah Kabupaten Wajo menyatakan akan memperkuat regulasi daerah, termasuk melalui peningkatan kapasitas penyuluh KB, aparat desa, guru, hingga tokoh masyarakat yang selama ini menjadi garda terdepan penjaga norma di tingkat akar rumput.
Harapan besar tertanam dalam kegiatan ini: bahwa anak-anak Wajo bisa tumbuh dalam lingkungan yang melindungi mereka, membebaskan mereka dari pernikahan yang memutus cita-cita, dan memungkinkan mereka berkembang dengan utuh secara fisik, psikis, dan sosial.
Jika langkah ini terus dikawal, Wajo bisa menjadi contoh bagi daerah lain: bahwa perlindungan anak bukan sekadar wacana, tapi kebijakan yang berdenyut di nadi kehidupan masyarakat. (*)
Editor: Tipue Sultan /Reporter: Marsose
Tidak ada komentar